Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cinderella dan Utopia Hidup Bahagia

2 Maret 2015   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_371177" align="aligncenter" width="504" caption="Lily James dan Richard Madden dalam Film Cinderella 2015. Sumber; Vogue.com"][/caption]

Rumah Produksi Disney seperti tidak pernah habis ide untuk memvisualkan kembali dongeng-dongeng klasik ke layar lebar. Setelah sukses memfilmkan Tangled (Rapunzel) 2010 dan Frozen (The Snow Queen) 2013, Disney seperti ingin mengulang sukses fairytale based movie. Tahun 2015 ini, Studio yang dikenal dengan film-film bertemakan keluarga kembali mengadaptasi dongeng paling sering diceritakan sepanjang masa, Cinderella ke dalam Layar Lebar dengan judul yang sama.

Bagi orang yang percaya pada dongeng, dan bahkan hidup dalam alam fantasi, film ini bisa menjadi a must list di tahun 2015. Menyaksikan Lily James yang berperan sebagai Ella dan Richard Madden sebagai Prince Charming yang pada akhirnya hidup happily ever after dipastikan akan membuat air mata berderai terharu, melihat seperti apa bentuk Fairy God Mother (Helena Bonham Carter) dan kepiawaiannya dalam mengubah labu menjadi kereta kuda emas, tikus menjadi kuda putih, angsa menjadi pak kusir serta mengubah baju sobek Cinderella menjadi gaun malam paling anggun serta menghadiahi Ella sepasang sepatu kaca, bakalan membuat anak gadis di mana pun percaya akan kehadiran ibu peri. Kita lupakan saja Cate Blanchet yang berperan sebagai ibu tiri yang jahat.

Tapi reviewer tidak tertarik menceritakan kembali kisah dongeng klasik penghantar tidur tersebut. Bagi editor di Vogue, mereka sudah mengulas gaun indah Cinderella yang dirancang oleh desainer pemenang Oscar, Sandy Powell. Di The Americanist, yang paling menarik untuk diulas tentu adalah nilai budaya yang terkandung dalam film dan cerita dongeng gubahan Anderson tersebut. Dan efeknya pada kultur masyarakat masa kini, tidak hanya di Amerika dan dunia Barat lainnya, tapi juga seluruh pencinta dongeng.

Kindness, Goodness and Magic!

“when there is kindness, there is goodness, when there is goodness, there is magic”


Pertama, nilai yang ingin diusung adalah kebaikan hati, kindness. Dalam trailer yang bisa ditonton di YouTube, Ibu Ella dalam masa kritisnya selalu menasihati anaknya akan tiga hal yang menjadi rahasia kebahagiaan seseorang yakni, Cinta, Keberanian, dan Kebaikan Hati. Namun dalam kebijakan nasihat itu, Ibu Ella lebih menekankan pada kebaikan hati. Ingat saja cuplikan dialognya, “Ella you have more kindness in your little finger, when the most people possess in a whole body.” Kebaikan Hati yang selalu dilakukan Ella pada akhirnya membawa Ella pada sebuah jalan hidup yang berakhir pada kebahagiaan.

Sebagai tambahan, magic yang coba diungkapkan di sini bukanlah rekayasa sihir Helena Bonham Carter melainkan proses akhir dari sebuah kebaikan-kebaikan yang terus-menerus dilakukan oleh Cinderella. Menghargai proses, untuk menjadi bahagia bukanlah proses instan, tetapi harus melalui kesukaran-kesukaran terlebih dahulu, yang akan dibayar dengan sebuah kemenangan di kemudian hari. Ini nilai penting yang sepertinya sudah mulai dilupakan oleh generasi muda saat ini. Dengan maraknya berita flash mengenai miliuner muda ditambah gegap gempita film dan televisi yang menggambarkan kehidupan glamour membuat generasi muda saat ini lupa akan proses, yang penting hasil.

Cinderella Never Disappointing Guardian

Dalam angan seseorang yang tenggelam dalam dunia dongeng, siapa yang tidak mendamba untuk memiliki seorang guardian atau penjaga yang selalu membela dan mendukung dalam keadaan susah. Let saya kita sebut, mental sinetron ini kerap menjangkiti sebagian besar masyarakat dunia. Dan bahkan Tuhan selalu dibawa-bawa dalam ranah ini. Bahwa Tuhan akan berada di sisinya. Untuk kasus Cinderella sendiri, dia memiliki Ibu Peri. Tapi yang menjadi catatan, Cinderella tidak pernah mengecewakan Ibu Peri. Dia selalu ingat bahwa sebelum jam 12, dia harus pulang, kalau terlambat, maka semuanya akan berubah. Dengan tergesa-gesa Cinderella lari dari ballroom sampai-sampai dia meninggalkan pemberian Ibu Peri yang tidak berubah, yakni sepatu kaca.

Happy Never After

Dongeng-dongeng di Barat selalu dimulai dengan sebuah akronim, once upon a time dan kemudian diakhiri dengan premis Happily ever after. Untuk ukuran sebuah dongeng, ini adalah hal yang baik, tapi bagaimana jika dongeng-dongeng ini kemudian merasuk dalam setiap benak setiap anak perempuan. Akan menjadi sangat bahaya jika every girl kemudian obsess terhadap Prince Charming dan mengharapkan sebuah kehidupan yang bahagia. Sedangkan dalam dunia nyata, tidaklah seperti itu. Sebuah survey yang digelar belakangan ini menyebutkan angka perceraian di Amerika Serikat mendekati rasio 50;50. Artinya angka perceraian sudah sangat tinggi. Kalau sudah begini berarti apakah masih ada Happy Ever After.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun