Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Starbucks, Langgam Baru Kapitalisme Amerika

23 Februari 2015   17:01 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_370211" align="aligncenter" width="448" caption="Starbucks memposisikan langgamnya sebagai Upper Class yang sejahtera dan berpendidikan tinggi. blogs.reuters.com"][/caption]

Setiap Sabtu atau Minggu sore, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Starbucks. Bukan karena rasa kopinya yang enak, bukan karena baristanya yang ramah-ramah, tapi jujur karena ingin menikmati ambience minum kopi yang juga dirasakan oleh jutaan pelanggan Starbucks di seluruh penjuru dunia. Menulis tesis ditemani green tea latte dan alunan musik jazz, membuat diri ini hanyut dalam nuansa berkelas, memang bukan kelas atas, tapi setidaknya kelas Amerika.

Starbucks memang telah menjadi langgam Amerika, yang mencerminkan nilai, standar, dan citarasa khas Amerika yang diperkenalkan ke seluruh dunia melalui medium secangkir kopi. Kita tidak bisa memungkiri sejak didirikan pada tahun 1971 di Pike Place Market, Seattle, Amerika Serikat, Starbucks terus-menerus menancapkan diri sebagai ikon Amerika. Berawal dari toko penjualan biji kopi, Starbucks merambah menjadi produsen kopi nomor satu, merajai retail kedai kopi di sudut-sudut tersibuk, pernah menjadi produsen film, musik, dan toko buku, sebelum akhirnya kembali ke bisnis inti kopi. Lalu berkembang menjadi ikon gaya hidup Hollywood dan tak lama, mulai bersanding dengan McDonald, GM, Coca Cola dan MTV sebagai langgam yang mencerminkan kebudayaan Amerika yang mendunia.

[caption id="attachment_370217" align="aligncenter" width="430" caption="Starbucks dalam cover majalah TIME. Angle pengambilan fotonya seakan bercerita, Howard Schultz sebagai ikon tokoh Amerika. Sumber laman TIME"]

1424660270247350856
1424660270247350856
[/caption]

Bryant Simon, penulis buku Everything But The Coffee, Learning About America from Starbucks, bahkan punya pendapat yang boleh jadi mencengangkan. Millenium ini, Amerika tidak lagi dicerminkan oleh General Motors, yang pada masa lampau menjadi lambang supremasi ekonomi negara adidaya tersebut, ekonomi Amerika sekarang dicerminkan oleh Starbucks. Ada semacam adagium yang terlampau diyakini, ketika General Motors mengalami down, maka bisa dipastikan ekonomi Amerika sedang down. Nah sekarang adagium itu beralih menjadi milik Starbucks. Alice Cooper dalam interview di majalah Esquire menyatakan dengan tegas, “It used to be said, as GM goes, so goes America, now its, as Starbucks goes, so goes America.”

Boleh jadi adagium itu benar, karena tepat satu tahun sebelum Amerika masuk dalam resesi besar di tahun 2008, Starbucks sejatinya sudah ‘demam’, perusahaan yang dipimpin oleh Howard Schultz ini sepanjang tahun 2006 hingga 2009 telah menutup ratusan kedai kopi di Amerika dan merumahkan ribuan karyawannya, setelah lima belas tahun mengalami pertumbuhan yang tidak pernah berhenti. Apa yang terjadi pada Starbucks juga terjadi pada Amerika pada tahun-tahun tersebut. Tidak berlebihan kiranya untuk menyimpulkan bahwa Starbucks kini telah menjadi langgam baru kapitalisme Amerika Serikat.

Apa kiranya yang membuat perusahaan berlogo Siren ini menggeser singasana GM sebagai ikon kapitalisme Amerika. Pertama, Starbucks tidak hanya menjual kopi, beyond coffee, Starbucks sells lifestyle. Starbucks sukses menawarkan gaya hidup kelas menengah Amerika Serikat yang pada saat itu tengah booming di Amerika. Kelas menengah ini rata-rata memiliki pendidikan tinggi, hampir setengahnya adalah lulusan universitas dan memiliki pendapatan tahunan hingga 81.000 US Dolar. Sayangnya kelas menengah ini dihinggapi sebuah symptom bernama Post Need Worlds. Sebuah istilah yang diperkenalkan olehJuliet Schor untuk menggambarkan keadaan di mana warga kelas menengah di Amerika setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan, rumah, makanan, pendidikan, mereka menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar dibutuhkan (Schor, 1999). Starbucks berhasil mengisi momen itu. Starbucks menancapkan stigma “successful people go to starbucks. Dan itu berhasil, salah seorang pengunjung Starbucks bernama Sara Halterman dalam wawancara bersama Bryant Simon mengatakan ketika ia berada di Starbucks ia merasa menjadi lebih berbudaya (cultured), “the stigma of being upper class… you feel like you're connected to affluence, like buying Gucci bag.”

[caption id="attachment_370214" align="aligncenter" width="504" caption="Starbucks selalu muncul dalam genggaman seorang artis Hollywood. Sumber: dari berbagai laman internet."]

14246597231119966044
14246597231119966044
[/caption]

Kedua, Starbucks melakukan pemasaran berbudaya, civilized marketing. Starbucks dalam mengenalkan langgamnya sehingga diterima oleh seluruh masyarakat Amerika Serikat dan dunia karena melakukan pemasaran bersama Hollywood. Starbucks tidak hanya muncul dalam medium-medium pemasaran konvensional seperti print ads yang tersebar mulai dari mall hingga airports, juga dalam laman-laman internet dan halaman-halaman majalah, tetapi ia juga muncul dalam film. Masih ingat film nominasi Oscar, I Am Sam, Sean Penn memerankan Sam Dowson yang mempunyai kelainan down sindrom bekerja dan membesarkan anak kecil di tempat yang paling ramah terhadap disabilitas, yakni Starbucks. Lalu Starbucks juga muncul di episode-episode The Simpson, dan tentu di serial Sex and The City. Lebih jauh dari itu, Starbucks muncul dalam ribuan foto selebriti yang dengan bangga memegang cup starbucks. Mulai dari Britney Spears, Ben Affleck hingga Harry Styles semuanya tertangkap kamera membawa cup starbucks.

[caption id="attachment_370218" align="aligncenter" width="480" caption="Sean Penn dan Michelle Pfifer dalam film I Am Sam. Sean Penn seorang penderita down syndrom bekerja di Starbucks. "]

1424660368937145678
1424660368937145678
[/caption]

Terakhir, Starbucks meneguhkan diri sebagai Ethical Company. Mulai dari fairtrade hingga yang baru-baru ini dilansir oleh TIME, antiracial company, Starbucks terus-menerus mengedukasi customer akan pentingnya nilai Starbucks, more than just a coffee. Majalah TIME baru-baru ini melansir sebuah rencana etis yang sedang dijalankan oleh Starbucks. Selain ingin meneguhkan diri sebagai perusahaan yang peduli terhadap nasib petani-petani kopi di negara-negara berkembang-melalui skema fairtrade, starbucks juga ingin meneguhkan diri sebagai kampiun dalam hal mempekerjakan para veteran perang, perusahaan yang antirasisme dan perusahaan yang peduli akan pendidikan. Di balik ingar binger kritik kemudian benar atau tidak terealisasinya janji ini, Starbucks seakan mengerti laporan dari Luxury Intitute bahwa, many Americans, wealthy and well educated menginginkan sebuah perusahaan yang berperilaku etis, menjalankan tanggung jawabnya terhadap isu-isu social. Starbucks sekali lagi sukses dengan fulfillment tersebut.

[caption id="attachment_370216" align="aligncenter" width="528" caption="Starbucks selalu mengkampanyekan bahwa sumber biji kopinya berasal dari perdagangan yang etis. Sumber laman starbucks."]

1424660166897026748
1424660166897026748
[/caption]

Over lattes, bagaimana dengan Indonesia, dalam sesapan terakhir green tea latte saya, saya memiliki anggapan, tidak hanya di Amerika, gaya hidup yang ditawarkan oleh Starbucks nyata-nyata merengsek masuk dalam jantung gaya hidup masyarakat Indonesia. Memang ada banyak anggapan yang masuk ke saya bahwa lebih enak kopi Indonesia dibanding kopi Starbucks, tapi hey, sekali lagi orang ke Starbucks tidak untuk membeli kopi, mereka membeli gaya hidup, gaya hidup kelas Amerika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun