Mohon tunggu...
Saumi Ramadhan
Saumi Ramadhan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Kalau Bersih Kenapa Risih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Prija Djatmika Ahli Hukum UB Kritik Dua Pasal RUU KUHAP, Dua Pasal Menjadi Ancaman Kewenangan

23 Januari 2025   17:12 Diperbarui: 23 Januari 2025   17:12 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta_Ahli hukum dari Universitas Brawijaya (UB) yaitu Dr Prija Djatmika mengkritik soal dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dua pasal yang dimaksud, yakni Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11. Kedua pasal itu dinilainya dapat menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan. Kamis, 23/01/2025.

Apabila hal ini tetap diterapkan, dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu. Bos Investasi Bodong Robot Trading Net89 jadi Buronan Internasional.

Dr Prija Djatmika dalam rilisnya mengatakan Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP saat ini, jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian. Padahal, seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan dari kepolisian.

Yang benar yang boleh mengontrol hanya Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Jadi Pasal 111 ini mending dihapuskan saja, yang Ayat 2, kata Prija menurut dalam rilis kepada media ini kemarin pada hari Rabu, 22/01/2025.

Sementara itu, Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan. Menurutnya, pasal semacam ini merupakan suatu kemunduran yang sebelumnya, saat era Hindia Belanda hingga Orde Baru, sudah pernah diterapkan tetapi kemudian dihapus.

"Ini memberi peluang jaksa untuk kembali sebagai penyidik, ini merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam KUHAP, jadi ini langkah mundur. Seharusnya, seperti saat ini, jaksa hanya bisa (menyidik) pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi," jelas Dosen Fakultas Hukum UB itu.

Tambahnya, jaksa tidak berhak menerima laporan masyarakat, kemudian melakukan pemeriksaan dan penuntutannya secara mandiri. "Ini akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, jadi penyidik (jaksa) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik.

Kecuali, memang perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa.

Dia mengusulkan agar RUU KUHAP yang baru ini menempatkan jaksa wilayah berkantor di kantor kepolisian. Hal ini seperti yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni adanya penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum yang bekerja satu atap.

Hal ini juga perlu demi efektivitas kinerja penanganan suatu perkara hukum, sehingga diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya pengembalian berkas perkara yang bolak-balik dari polisi ke jaksa.

Selain itu, suatu perkara hukum ketika masuk pengadilan, sudah disertai dengan bukti yang kuat. Tetapi, pada saat penyidikan, tetap tugasnya polisi, jaksa bukan koordinasi saja, tapi sinergi dalam rangka collecting evidence atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan, ucapnya.(Saumi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun