Mohon tunggu...
Saujana Jauhari
Saujana Jauhari Mohon Tunggu... -

Kekosongan itu adalah sesuatu yang seharusnya diisi, bukan diabaikan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terkatung di Pulau Tapak Belati

8 Agustus 2012   15:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ombak berdebur memecah kesunyian pantai. Angin laut masih sama seperti dahulu. Hembusannya membangkitkan gelora berkelana.Jauh di ufuk sana, angin musim dari barat sudah berpindah arah. Samudra Hindia masih menyimpan pesonanya. Detak-detik buihnya masih terdengar layaknya alunan nada ombak pesisir. Sayup-sayup sampai terdengar di sebuah bukit pinggir pantai.

Kala itu bulan Oktober, pasir putih Pantai Panjang masih menyimpan ceritanya. Ada cerita tentang nelayan yang hilang di tengah lautan, ada cerita tentang kapal yang terdampar yang di penuhi semak belukar, pun ada cerita tentang penunggu lautan yang mengincar jiwa yang kesepian.

Jiwa pelaut itu adalah jiwa yang asin, yaitu jiwa yang berani menerjang kesukaran, jiwa yang berani menantang bahaya sekaligus jiwa yang didera dilema pasrah ketika tak ada lagi jalan mulus yang terbentang. Para pelaut adalah mereka yang mencicipi asinnya laut, kala ombak berdebur setinggi lutut. Para pelaut adalah jiwa yang berdebar kala layar kembali berkobar dan jiwa yang berharap kala angin tak berhenti memutar dingin.

Mengapa setiap melihat laut aku menemukan kedamaian…..???, Aku tak tahu mengapa, tetapi yang jelas adalah laut adalah tempat berkumpulnya segala suka duka bukit, lembah, danau, sungai, ngarai dan jurang. Jelas bahwa segala kepahitan, kesukaran, kepayahan, kegetiran hidup jika telah bertemu laut, semua itu akan dinetralisir layaknya dalam reaksi kimia, asam dan basa yang bercampur akan berubah menjadi air dan garam. Ya..!!! air dan garam yang berarti sifat manusia yang baik dan buruk jika bercampur akan menjadi netral. Seperti misal kesukaran (asam) bercampur dengan kesabaran (basa) menjadilah ia ketenangan (air garam) yang kemudian jika dipanaskan ia akan mengendap menjadi hikmah/pelajaran(garam). Ah, aku terlalu filosofis…………………………………..

Laut adalah ujung harap semua penantian layaknya sebuah terminal kehidupan. Mereka yang belum melihat laut secara kasat mata tidak akan pernah merasakan kesejukkan kala angin laut berhembus, tidak akan pernah mendengar debur ombak menghampiri pasir dan tidak akan pernah melihat air biru tak bertepi, tidak akan pernah mencium harumnya aroma kesegaran nirwana dan tidak pula air laut yang asin itu. Ketika kita mencicipi air laut di tepi pantai, lengkaplah sudah panca indra kita bekerja. Mata yang memandang birunya laut, telinga yang mendengar debur ombak, kulit yang merasakan dinginnya angin, hidung yang mencium aroma dan lidah yang merasakan asinnya laut itu.

***

Sabtu sore dimulailah perjalanan itu. Sebuah perahu kecil yang berbahan bakar diesel yang tidak boleh dimuati lebih dari sepuluh orang akan berangkat ke tengah laut. Tujuannya jelas, mencari ikan. Tetapi bagi aku dan mungkin beberapa temanku kami punya maksud lain. Mungkin sekedar mengisi waktu luang, mungkin sekedar mencari sensasi baru, mungkin mencoba pengalaman baru, mungkin mencoba petualangan baru, atau mungkin ini adalah sebuah pelarian dari sekelompok “Elegimen”, yaitu manusia-manusia yang dilanda kesedihan sehingga sepanjang hidupnya adalah sebuah “elegi” tak berakhir.

Dua orang mualim sudah siap di depan kemudi, mereka sudah tahu seluk beluk laut. Tubuh kekar mereka seolah telah berkarat oleh air laut itu, hanya semangat yang tinggi, keberanian, ketangguhan, kecakapan, perhitungan, dan kekuatan percaya pada nasib yang membuat mereka bertahan sampai beberapa lama untuk menyambung hidup, yang bagi mereka laut itu adalah mata pencahariannya, tempat mereka mengharap, tempat bertarung dengan alam ketika malam, dan tempat mereka tersenyum kala kapal sudah merapat. Aku melihat mereka sangatlah berbahagia, tiada satupun raut kesedihan padanya, dan tiada satupun kata mengeluh yang terucap pada mereka, seolah kata-kata mengeluh sudah mereka kubur jauh di bawah lautan seperti kapal Van Der Wijck yang telah karam.

***

“Nampaknya sore ini cerah, lihat langit diatas, biru sepanjang mata memandang dan awan hanya seperti kapas yang terserak. Lihat itu burung layang sudah mau kembali ke peraduannya pertanda hari sudah mau gelap”, mualim yang bernama Toron memulai pembicaraannya. Aku diam saja, seolah acuh tak acuh mendengarkan perkatannya. Hanya Rebon yang menyahut, “mau kemanakah arah tujuan kita, Mualim..??,. “kita akan memancing tak jauh dari pinggiran pantai ini, Jika cuaca tidak bagus nanti malam, dapatlah kita pulang dengan selamat ke tepi. Hanya saja, disini ikannya kecil-kecil, belum tentu sehari ikan itu akan makan umpan. Kalau cuaca bagus dan kalau kita semua setuju, kita akan ke tengah laut arah dimana matahari akan tenggelam, karena disana ada semacam spot pancing yang bagus, segala macam ikan berkumpul disana, konon air laut disana tidaklah dingin seperti yang lain tetapi terasa hangat, kalo kita kesana mungkin barang tiga atau empat jam kita sudah banyak mendapat ikan. Tapi disana agak berbahaya, laut lepas tanpa pulau dan konon disana sudah banyak ikan hiu yang mengintai.”Mang Toron berkata demikian.

Aku lihat Ambur sedang berdiri di palka kapal, layaknya pria yang putus cinta lautlah yang menjadi sasarannya, aku takut ia akan mencebur ke laut. Tetapi ketika aku memandang jauh ke dalam matanya, tak terlihatlah keputus asaan dan kekecewaan dalam dirinya. Ambur, dia adalah temanku, nama lengkapnya adalah Ambur Adul, pria gendut yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Apa yang dikerjakannya selalu tidak becus dan sering salah, tetapi keteguhan dan keuletannya janganlah ditanya. Ketika dia mengerjakan sesuatu, kemudian salah, ia akan mengulanginya lagi dan lagi sampai betul betul benar dan sempurna.

Sedangkan Tampan kulihat sedang berbincang-bincang di belakang kapal bersama Pare dan seorang mualim lainnya. Mereka banyak membicarakan tentang laut, tentang ikan, tentang bintang, bahkan tentang misteri-misteri seputar laut disana yang katanya ketika malam tiba sering muncul kabut yang tebal yang menghalangi jalan sehingga banyaklah kapal yang tersesat karenanya.

Aku, Ambur, Tampan dan Pare adalah teman dekat, walaupun asal kami berbeda-beda tetapi karena tempat merantau kami yang sama dan kami sering bersama serta mempunyai nasib yang sama sebagai anak perantauan maka pertalian itu yang menjadikan kami kuat. Sedangkan Rebon Artoghi adalah teman kami semua, ia adalah penduduk asli disini dan konon ia sudah sering pulang pergi ke tengah laut untuk memancing. Ia sudah paham cuaca dan keadaan alam sehingga tidaklah nampak lagi raut ketakutan di wajahnya. Ialah yang tadi ngobrol di dalam kapal dengan mualim yang sedang pegang kemudi.

Tampan Sutarman, boleh dibilang ia adalah anak mami, ia tidak mau pergi ke tengah laut dan kelihatan sekarang ia hanya berdiri mematung memandangi laut. Pare lah yang mengajak dan mengolok-olok dia untuk segera memancing ke laut. Tak henti-hentinya Pare membuat ulah dengan Tampan sampai-sampai Pare mau membayar sewa kapal setengah untuk Tampan dan meminjamkan pancingan untuk Tampan agar Tampan segera mau ikut bersama kami. Bagi kami, Pare adalah biang kerok, nama lengkapnya adalah Pare Lekinson. Ia adalah tukang keributan dalam kelompok kami, tukang membuat masalah. Keinginannya haruslah dituruti dan terkadang itu membuat kami kesal. Tetapi sebenenarnya dalam hatinya baik, ia lakukan itu hanya untuk bercanda dan tak ada niatnya untuk mencelakakan orang lain. Ada ada saja ulah yang dibuatnya, mulai dari memasukkan cabai ke dalam makanan, menaruh cicak dalam sepatu, ataupun membunyikan alarm tengah malam.

Pukul 10.00 malam, kami telah berada di tengah laut. Dari jauh kelihatan Anak Krakatau memuntahkan laharnya sedikit-demi sedikit, sedangkan Pulau Sertung berdiri mematung di kejauhan. Rakata berdiri teguh laksana raksasa menunggu sang surya.

Tiba-tiba, Pare menyahut, “Hai mualim, sudah sejak dari tadi aku memancing, mana dapat aku ikan barang sedikit disini, yang lain sudah dapat ikan sejenis layang dan ikan terbang, sedangkan aku tak dapat ikan seumpanpun, bagaimana seandainya kita berpindah dari sini, aku lihat cuaca cerah, tidaklah mengapa jauh dari pesisir, jikalau ombak besar, kita masihlah punya pelampung masing-masing., kita sudah bertekad bahwa semua kompak, jikalau ada satu yang kesusahan, sama-sama kita bantu.!!,

Mualim berkata, “Itu terserah kalian semua, Bintang Waluku pun di langit masih nampak, masihlah kita tahu jalan pulang seandainya kita tersesat”. Tapi jika semua setuju, kalian harus berhati-hati, karena seketika ikan hiu memakan umpan kalian, tak dapatlah kalian menarik umpan itu, hiu itu sangatlah kuat, lebih baik putuskan pancing jika hiu memakannya. Nanti kalian akan merasakan pengalaman memancing yang sebenarnya, yaitu ketika ikan pari menyapu gelombang ke tepian pantai, serta memakan umpan, disitulah jiwa petualang kalian diuji……., Apakah kalian semua mau pergi kesana, ke tempat dimana air laut lebih hangat dari sekitarnya, ke tempat dimana segala jenis ikan berkumpul disana, dan ombakpun seakan menyembunyikan riaknya disana….., Apakah kalian semua siap……………..??????????????

BERSAMBUNG………………..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun