Dalam 12 tahun terakhir, harga minyak dunia sempat merosot hingga ke level terendah yaitu US$28 per barel. Sampai saat ini pun, harga minyak dunia belum beranjak naik signifikan atau masih di bawah US$100 per barel. Kondisi ini mengguncang industri migas dunia. Tekanan yang begitu hebat itu membuat tingkat keekonomian proyek migas menurun drastis. Efek selanjutnya, pekerjaan pengeboran sumur dan ekspansi kapasitas produksi terpaksa dibatalkan.
Sejumlah langkah sebenarnya sudah ditempuh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Langkah itu, misalnya, melakukan efisiensi dan renegosiasi terhadap kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa, mengoptimalisasi kegiatan perawatan sumur (well service) dan kerja ulang (work over). Namun, hasilnya belum juga menggembirakan. Kebanyakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) masih belum bergairah untuk melakukan kegiatan eksploitasi, apalagi eksplorasi migas.
Kondisi itu tercermin dari capaian investasi hulu migas yang hanya US$5,65 miliar pada semester I-2016 sebagaimana dicatat SKK Migas, turun 27 persen dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 7,74 miliar.
Secara historis, investasi industri hulu migas berbanding lurus dengan harga minyak. Semakin tinggi harga minyak semakin banyak investasinya, begitu juga sebaliknya. Ini terlihat antara lain sepanjang 2010-2013 tren investasi hulu migas, khususnya pada blok eksploitasi, yang mulai merangkak. Kenaikannya mencapai 71,8 persen menjadi US$ 18,9 miliar, dalam waktu empat tahun tersebut. Â Saat itu harga minyak mentah masih berkisar di angka US$ 100 per barel.
Ketika harga minyak turun pada pertengahan 2014, nilai investasi hulu migas mulai turun 1 persen menjadi Rp 18,7 miliar. Tahun lalu, investasinya kembali turun hingga 20,8 persen menjadi US$14,8 miliar, karena harga minyak yang terus menukik. Tren ini masih terjadi hingga semester I 2016.
Selain turunnnya harga minyak, ketidakbergairahan investasi di hulu migas saat ini juga dipengaruhi oleh kondisi lapangan minyak Indonesia yang  mayoritas  sudah uzur. Lapangan minya yang tua umurnya membutuhkan biaya operasi yang semakin tinggi. Lapangan ini secara alami cadangan migas yang ada di dalamnya tentu saja berkurang, dan kemampuan produksinya menurun.
Kondisi lainnya yang memicu penurunan investasi adalah beberapa lapangan migas sudah akan berakhir masa kontraknya. Sejauh ini belum ada kepastian bagi kontraktor apakah kontrak dari lapangan yang sudah akan habis ini, akan diperpanjang atau tidak.
Penurunan investasi tersebut juga dipengaruhi Production Sharing Contract (PSC) di Indonesia yang masih kurang bisa beradaptasi dengan fiskal. Term PSC yang selama ini berlaku hanya dipatok pada harga minyak tertentu. Sehingga, ketika harga minyak dunia sangat tinggi, atau sangat rendah, term PSC tersebut tidak bisa menyesuaikan.
Karena itu, perlu adanya pengenalan term PSC yang lebih sensitif terhadap gejolak harga minyak dunia. Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan mitra kerja terkait, juga dalam berbagai forum diskusi dan seminar ataupun wawancara dengan media, saya sering mengemukakan perlunya penggunaan formula sliding scale.
Formula sliding scale ini membuat bagi hasil migas beradaptasi dengan naik turunnya harga minyak dunia. Apabila harga minyak rendah, maka porsi dari KKKS membesar, dan porsi negara mengecil. Ini dimaksudkan agar kontraktor bisa bertahan dalam kondisi harga minyak yang rendah.
Sebaliknya, pada waktu harga minyak dunia tinggi, maka porsi pemerintah bertambah. Sedangkan porsi kontraktor berkurang. Hanya saja, berkurangnya porsi kontraktor ini masih menguntungkan bagi mereka untuk melanjutkan investasinya. Dengan cara demikian, maka industri migas di Tanah Air akan lebih bisa beradaptasi terhadap tekanan harga minyak dunia.