CERPEN: AJENDRO
27 Agustus 2013 pukul 23:56
Ada ciri khas tiap kali ia menulis surel untukku. Namaku AZIS, sering ditulisnya AZIZ. Aku tak pernah bertemu muka dengannya. Hubungan kami sebatas bisnis. Ia mengirimkan karya-karyanya dalam bentuk soft copy ke alamat emailku. Karangannya beratas namakan Ajendro. Sulit ditebak, dari etnis mana orang bernama Ajendro. Sebagai editor aku membaca karya-karyanya dan mengeditnya.
Buku pertamanya laris manis. Ludes di toko-toko buku. Penggemarnya mulai berdatangan. Mereka mengirim email untuk Ajendro yang dialamatkan ke penerbitanku. Kebanyakan perempuan, karena Ajendro identik nama laki-laki. Ia sendiri tidak menolak ketika kusebut "Pak" atau "Bapak" dalam surel. Gambar wajahnya tak ada, ia mengirimkan foto elang Jawa sebagai ganti foto wajahnya. Lantas aku berpikir, Ajendro ini tentu seorang yang buruk rupa.
Setelah banyak yang mencari novelnya, sebagai editor dan pemilik penerbitan, aku ingin meminta izinnya untuk cetak ulang kedua.
“Kami ingin membuat perjanjian baru untuk cetakan kedua. Bisakah kami bertemu Pak Ajendro?”
Tak berapa lama datang surel balasannya, “Difaks saja seperti yang pertama”.
Akhirnya aku pun jadi mencetak buku keduanya tanpa pernah bertatap muka. Aku mulai penasaran. Seperti apa Ajendro ini? Novelnya berisi kisah asmara seorang dosen dengan seorang peneliti yang menyamar menjadi seorang petani. Indah dan romantis, dengan balutan kalimat puitis.
Lihatlah kalimat terakhirnya, “Cintaku padamu bagai purnama”. Singkat namun mengandung makna yang dalam.
Beberapa bulan kemudian, Ajendro kembali mengirim soft copy untuk novel keduanya. Aku kembali menjadi editornya, kali ini atas permintaannya.
“Saya ingin Pak Aziz yang jadi editornya. Saya cocok dengan bahasa Pak Azis”.