Mohon tunggu...
Satyawati Irianti Nugroho
Satyawati Irianti Nugroho Mohon Tunggu... -

S1 dan S2 UGM, hakim, menikah, 2 orang anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ketika Mugunghwa Mekar (Autumn in Seoul)

13 Januari 2014   09:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen: Ketika Mugunghwa Mekar (Autumn in Seoul)

13 September 2013 pukul 1:05

Pesawat yang kutumpangi mendarat dengan sempurna di bandara Incheon, Korea Selatan, setelah tujuh jam perjalanan dari Jakarta. Ada yang akan menjemputku, namanya Jun-Eun Suk. Aku mencari-cari kertas bertuliskan namaku diantara para penjemput. Tak ada. Aku heran, setahuku orang Korea terkenal disiplin dan tepat waktu. Itu yang kuketahui dari sosok direktur yang mengirimku kesini.

Tiba-tiba seseorang menyeruak diantara para penjemput.

Excuse me. Are you Ditya from Indonesia? Maaf, aku tak sempat menulis namamu. Tapi, aku mengenal wajahmu dari facebook.”

Aku mengamati orang itu. Sejenak aku ternganga. Mirip Jin-Mo Ju, aktor Korea. Benarlah kata Seo-Yuan Hye teman sekantorku di Jakarta, bahwa yang bernama Jun-Eun Suk mirip dengan aktor Korea bernama Jin-Mo Ju. Foto aktor itu pernah diperlihatkan Yuan Hye dari ponselnya.

Setelah bersalaman, tanpa banyak basa-basi Jun Eun Suk segera menarik koporku lalu ia melangkah dengan bergegas ke tempat kereta yang akan membawa kami ke Seoul.

Aku mengerti mengapa Jun-Euk Suk begitu bergegas, karena kereta yang akan ke Seoul akan segera tiba, jika terlambat kami harus menunggu lima belas menit lagi.

Aku agak menggigil kedinginan, udara di bulan September ternyata masih dingin menurut ukuran orang Indonesia. Aku lupa menanyakan pada Jun-Euk Suk suhu udara di Korea saat ini. Kulihat sebuah temperature di dinding. Empat belas derajat celcius!

Ia memandangku yang sedikit menggigil. Ia sungguh meminta maaf, tidak memberitahu cuaca pada hari kedatanganku.

Ia menyodorkan jaketnya, “Pakailah”.

Aku menggeleng, bagaimana bisa aku menerimanya jika ia sendiri akan kedinginan. Namun, ia terus memaksa dengan alasan kereta akan segera tiba, ia tak akan kedinginan lama. Kuterima jaketnya dan kukenakan. Benar saja tak lama kemudian kereta datang. Yang jelas sudah dua kelalalannya padaku. Tak menulis namaku, tak memberi informasi lengkap tentang Seoul. Sehabis ini apa? Lupa dengan alamat apartemenku?

Untunglah kelalaian Jun-Eun Suk hanya dua saja. Ia sukses mengantarku ke apartemen untukku. Sekarang, Jun-Eun Suk mengajakku makan malam sebagai tanda penghormatan atas kedatanganku. Aku dan dia selevel dalam jabatan. Ia di kantor pusat di Seoul, aku di Jakarta. Jun-Eun Suk akan menjadi mentorku selama di Seoul ini. Aku akan dilatih untuk menjadi perantara antara dewan direksi dengan para pegawai. Aku dikirim untuk mempelajari bahasa, kultur, manajemen, sampai pada produk-produk elektronik dan gadget perusahaan.

Malam itu ia banyak bercerita tentang Korea.

“Di Korea banyak hari-hari yang kami peringati seperti white day semacam valentine day, lalu ada black day hari untuk yang belum punya pacar, ada rose day….”

Aku tak melulu belajar. Jun-Eun Suk mengajakku berkeliling Seoul.

"Belajar tak harus dikantor, dengan cara ini kau akan cepat memahami kultur kami," dalihnya.

Dalam satu bulan ini aku telah mengunjungi banyak tempat. Aku terpesona dengan keindahan bunga mugunghwa, bunga nasional mereka. Aku tak sadar ketika ia memainkan ponselnya, ia memotrektu sedang mengagumi mugunghwa. Tiba-tiba saja ia memperlihatkan fotoku diponselnya.

Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu, tapi tak jadi.

Mugunghwa mekar dari bulan September sampai Oktober. Kini, justru aku yang sering memintanya untuk mengantarkan berwisata.

“Sampai musim mugunghwa berakhir, please,” bujukku.

Ia tak keberatan. Dan selama dua bulan ini kami tak pernah bicara soal pribadi.

Sampai akhirnya Oktober berakhir. Salju mulai turun di bulan November. Aku membongkar koporku, mengeluarkan jaket-jaket tebal yang kubawa. Dua bulan ini bahasa Koreaku semakin lincah dan yang terpenting adalah aku semakin mengerti mereka, termasuk kebiasan laki-laki Korea yang memiliki tradisi minum soju, sampai mabuk. Di suatu malam bersalju yang dingin membeku, aku terpaksa menyangga Jun-Euk Suk dibahuku yang mabuk berat. Aku menemaninya di taksi yang membawanya ke apartemen. Kuantarkan sampai didepan pintu apartemennya.

“Kau tahu Ditya,” katanya sambil terhuyung, “Di Korea ada hari hugs day, hari memeluk. Aku ingin memelukmu”. Tiba-tiba saja aku telah berada dipelukannya. Kudorong Jun- Euk Suk, kutampar pipinya.

Jun Euk Suk menatapku, tak mengira aku akan menamparnya.

Annyeong haseyo,[1]” kataku lalu berbalik meninggalkannya.

Keesokan harinya di kantor. Jun Euk Suk seperti biasa menyambutku. Tak ada yang berubah. Seperti tak ada kejadian apa pun tadi malam. Malam itu kami makan malam, Jun Euk Suk tak menyentuh soju walau segelas kecil. Pulangnya kami berjalan perlahan menyusuri pertokoan di Myeongdong yang masih ramai. Aku merasakan ada yang lain. Jun-Euk Suk berjalan perlahan.

“Ini bulan terakhir,” katanya perlahan. “Bulan depan kau sudah kembali ke Jakarta. Aku senang menteeku berkembang pesat”.

Ia berhenti, menatapku, “Kau sudah mengenali budaya kami yang baik dan yang buruk dari kacamatamu. Tentunya engkau pun telah mengetahui diriku baik buruknya. Apakah…..”.

Ia terdiam.

“Apa?” tanyaku.

Ia menghela napas,” Apakah kau tidak tertarik pada pria Korea?”

Aku terperangah. Namun, aku berpikir cepat. Aku harus menjawab dengan bijaksana.

“Laki-laki Korea baik. Mungkin jika ada yang tertarik padaku, aku pertimbangkan”, kataku hati-hati jangan sampai menyinggung perasaannya.

“Begitu?” ia menghentikan langkahnya. Lampu-lampu jalanan menerangi sekitar kami. Banyak orang berlalu lalang. “Apakah engkau bisa mempertimbangkan aku?”

Aku tersenyum. Kami memang menjadi dekat tiga bulan ini.

“Jun-Euk Suk ssi[2]. Mungkin perasaanmu hanya emosi. Cinta lokasi,”

Ia menatapku, “Apakah engkau punya seseorang yang menunggumu di Indonesia?”

Terlintas sebuah wajah.

“Ya,” kataku tegas. “Mungkin, aku akan menikah tahun ini”.

Kulihat wajahnya berubah murung.

Hari itu tiba. Ia mengantarku ke bandara Incheon.

Gamsahamnida,[3]” aku mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badan. Ia membalas, sesaat sikap kami resmi. Namun, tak lama Jun Eun Suk mendekat kepadaku sebelum aku memasuki terminal kereta bawah tanah yang akan membawaku ke ruang tunggu.

“Ditya, jangan  memaksa aku menerangkan yang aku tidak tahu. Sarang haeyo[4], karena hatiku telah memilih kamu untuk aku cintai, just like that”.

Seandainya aku pun bisa mengatakan sarang haeyo. Tapi, tidak. Kutahan bibirku kuat-kuat. Aku tak bisa. Ada seseorang di Indonesia, walau kini hatiku galau. Kami pun berpisah.

Satu setengah tahun telah berlalu. Telah lama kuhapus nomor ponselnya dan alamat email Jun Euk Suk.

Dari hari ke hari aku telah terbiasa menerima tamu-tamu dari Korea. Kini aku direktur personalia. Tugasku selain mengurusi pelatihan, promosi dan mutasi aku sering menjadi jembatan komunikasi antara dewan direksi dengan para manajer dan karyawan. Menterjemahkan keinginan dewan direksi pada pegawai perusahaan dan sebaliknya aku pun menterjemahkan keinginan para pegawai pada mereka. Suatu ketika, Mr. Ji-Hun Bae, direktur utama memanggilku. Ia tampak ramah dan tersenyum penuh arti.

“Ditya, akan ada tamu dalam minggu ini. Ia seorang yang akan menggantikan posisi direktur pemasaran di Jakarta. Ia mengirimku surel, katanya ia minta engkau yang menjemputnya. Namanya Jun-Euk Suk”.

Jantungku serasa berhenti berdetak.

“Kuminta, engkau mendampinginya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan disini. Aku yakin engkau telah mengenalnya dengan baik”.

Aku tak bisa mengelak. Harus kuhadapi dia.

Pagi itu di bandara Sukarno-Hatta kami bertemu.

Welcome to Jakarta. Eoseo oseyo[5]”, kubungkukkan badanku. Jun-Euk Suk menatapku tersenyum. Wajahnya telah jauh berubah, lebih teduh dan tenang.

“Selamat atas pengangkatanmu sebagai direktur pemasaran,”

“Terima kasih, Ditya”.

Kami berbicara yang formil-formil. Aku melaksanakan tugasku hingga makan malam. Aku menemaninya menyusuri trotoar Jalan Jenderal Sudirman. Ia tak mau menggunakan taksi atau mobil dinasku. Ia memilih jalan kaki. Untuk membakar lemak dan karbohidrat dari makan malam, alasannya.

“Ditya, aku tahu kau belum menikah. Aku yakin karena yang mengatakan Mr. Ji-Hun Bae,”  ia mengawali pembicaraan setelah kami terdiam cukup lama.

Aku terus menatap lurus kedepan. Teringat Baskoro. Ia telah memilih yang lain. Ia telah mengultimatumku waktu itu: memilihnya atau tetap berangkat ke Korea. Aku memilih ke Korea. Herannya, satu bulan kemudian ia menikah. Begitu cepatnya. Ternyata ultimatum itu kesempatan baginya untuk memutuskan hubungannya denganku. Ia telah mendua sejak lama. Hatiku teramat sakit. Kupikir Baskoro akan berubah pikiran sepulangku dari Korea, ternyata tidak. Pantas ia tak pernah membalas SMS ku, dan teleponku selama aku di Korea.

“Ditya, kau melamun? Masihkah engkau mempertimbangkan pria Korea? Aku tak minum soju dan makan babi satu setengah tahun ini. Aku banyak bergaul dengan orang Indonesia yang tinggal di Seoul, untuk mengerti budayamu. Karena aku masih menaruh harapan suatu saat kita akan bertemu dan kau tak jadi menikah dengan pria yang dulu kau sebut akan menikahimu segera”.

Jun Euk Suk terus berbicara, “Aku masih berharap. Karena hanya engkau yang kupilih. Mugunghwa-ku jawablah,”

Aku teringat sesuatu.

“Jun-Euk Suk ssi, sebelum aku menjawab, jawablah pertanyaanku. Waktu di Istana Gyeongbokgung, kau memotretku. Lalu kau seperti akan mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Apa yang ingin kau katakan?”

Jun Euk Suk tersenyum. Ia mengambil ponselnya yang telah berganti model, tapi fotoku satu setengah tahun lalu melekat di ponsel barunya.

“Aku waktu itu ingin mengatakan, kau cantik diantara bunga-bunga mugunghwa. Namun, karena kita baru kenal aku urung mengatakannya”.

Jun-Euk Suk menyentuh jemari Ditya, “Ditya, maukah kau menjadi mugunghwa yang mekar dihatiku?”

Ditya tersenyum, “Ya, Oppa[6]

Mata Jun Euk Suk berbinar, “Ditya, aku membawa kulturku kemari. Kau tahu? Di Korea ada hari bernama kiss day, aku ingin……”

Sampang, 11 September 2013

[1] Untuk ucapan selamat, baik pagi, siang, malam.

[2] Untuk menghormati

[3] Terima kasih.

[4] Aku mencintaimu.

[5] Selamat datang.

[6] Sebutan perempuan kepada laki-laki yang lebih tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun