1. Hypodermic Needle Theory
  Tidak ada campur tangan di antara pesan dan penerima. Artinya, pesan yang sangat jelas dan sederhana akan jelas dan sederhana pula di respons. Jadi, antara penerima dengan pesan yang di sebarkan oleh pengirim tidak ada perantara atau langsung diterimanya. Dalam literatur komunikasi massa, ini sering disebut dengan istilah jarum hipodermik ( Hypodermic Needle Theory) atau teori peluru (Bullet Theory). Alasannya, isi senapan (dalam hal ini diibaratkan pesan) langsung mengenai sasaran tanpa perantara. Hal ini artinya, pesan yang dikirimkan akan langsung mengenai sasarannya yakni penerima pesan, seperti peluru yang langsung mengenai sasaran.
2. Cultivation Theory
  Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania  Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah Living with Television : The Violenceprofile, Journal of Communication. Awalnya ia melakukan penelitian tentang "Indikator Budaya" di pertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama di mana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton  dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya.
3. Cultural Imperialism Theory
  Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama Schiller yang dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural Domination. Teori ini imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia. Hal ini berarti, media massa negara Barat mendominasi media massa di dunia ketiga. Alasannya, media barat mempunyai efek yang kuat untuk memengaruhi  media dunia ketiga. Media barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari media maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga.
4. Media Equation Theory
  Teori ini relatif sangat baru dalam dunia komunikasi massa. Media Equation Theory atau teori persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespons apa yang dikomunikasikan media seolah-olah (media itu) manusia. Menurut asumsi teori ini, media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer seolah-olah komputer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H