[caption id="attachment_381849" align="aligncenter" width="538" caption="Pajak BCA - www.kompas.com"][/caption]
Pajak BCA sampai saat ini masih hangat, juga ramai diberitakan dan dibahas. Sebenarnya kasus ini sudah belasan tahun lalu terjadi, namun ketika 2014 lalu KPK menangkap Hadi Poernomo, kasus ini muncul kembali ke permukaan. Di sini saya akan membahas mengenai Negara yang justru mendapat keuntungan, seperti yang dibahas dalam artikel yang saya baca Pajak BCA – Pajak BCA, Baru Tahu Kalau Ternyata Negara Tidak Dirugikan.
Kasus Pajak BCA ini bermula pada tahun 1998 saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Saat itu, perseroan (BCA) mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka kerugian yang dimaksud dapat dikompensasikan dengan penghasilan atau tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun.
Pada tahun 1999, BCA menjalankan dua instruksi dari Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No. 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999. Hal ini berarti, BCA menjadi milik Pemerintah, dengan kepemilikan mencapai 92,8%.
Terkait transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No. SP-165/BPPN/0600.
Sejak tahun 1999, BCA sebenarnya sudah mulai membukukan laba. Pada tahun 1999 tersebut laba fiskal tercatat sebesar Rp 174 miliar. Pada tahun tersebut juga, adanya pemasukan sebesar Rp 3,29 triliun yang berhasil ditagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas pengalihan piutang macet BCA pada 1998. Pemasukan Rp 3,29 triliun ini tidak masuk ke kas BCA, namun masuk ke BPPN (Negara). Negara ternyata mendapat untung senilai Rp 3,29 triliun seperti yang dibahas disini Pajak BCA – Pajak BCA, Baru Tahu Kalau Ternyata Negara Tidak Dirugikan.
Pada  pemeriksaan pajak tahun 2002, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp 6,78 triliun. Di dalam nilai itu, ada koreksi terkait transaksi pengalihan aset, termasuk jaminan Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan BPPN sesuai Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No SP-165/BPPN/0600. Ditjen Pajak melihat kasus ini sebagai penghapusan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
Namun BCA menentang putusan Ditjen Pajak ini. Menurut BCA terdapat bukti nyata bahwa yang dilakukan BCA berdasarkan instruksi dua instansi pemerintah sebagai pengalihan aset.
Pertama, jika hal ini disebut sebagai penghapusan NPL, maka saldo piutang macet akan ada di neraca BCA sebagai aset perseroan.
Kedua, setelah aset BCA berpindah ke BPPN, pada 2003, terdapat bukti dari BPPN bahwa terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp 3,29 triliun yang menjadi milik BPPN dan bukan milik BCA.
Dalam ketentuan perpajakan, kerugian dapat dipakai selama lima tahun. Kerugian BCA sebesar Rp 29,9 triliun masih bisa dikompensasikan dengan penghasilan sampai dengan 2003, BCA masih memiliki kerugian kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun. Dengan demikian, seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun yang menjadi pokok perbedaan pandangan dan pokok masalah tidak diterima oleh Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi atau hangus setelah tahun 2003.
Selain itu, pada tahun 2000 lalu, BCA melakukan penawaran umum perdana saham alias initial public offering (IPO). Sebelum melakukan IPO, BCA telah mendapatkan tax clearance dan melakukan kewajiban sebagai wajib pajak.
Tax clearance atau Surat Keterangan Fiskal (SKF) merupakan surat keterangan dari Ditjen Pajak mengenai status wajib pajak di tahun tertentu. Andai wajib pajak tak memiliki masalah atau utang pajak, dinyatakan statusnya bersih (clear).
Yang menarik adalah penagihan BPPN ke debitur. Dari penagihan itu, BPPN berhasil menagih Rp 3,29 triliun. BCA sebagai bank yang masuk kategorii BTO tidak menerima bagian dari Rp 3,29 triliun tersebut. Jadi sebetulnya, dalam hal ini negara (BPPN) justru menerima pemasukan Rp 3,29 triliun. Jadi apakah karena BCA ngemplang pajak, justru membuat Negara meraup untung sebesar Rp 3,29 triliun?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H