Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teh Tawar Menawar

12 Mei 2016   10:29 Diperbarui: 12 Mei 2016   10:39 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Teh tawar menawar", begitu kira-kira aku menyebutnya. Mungkin saja teh itu dapat menawarkan segala penyakit di dalam badan, makanya aku sebut begitu. Tak usah dibuat pusing kalau itu menyangkut soal terminologi. Sebuah istilah dsbnya itu jelas bukan asal comot saja diambil dari udara.

Terimakasih kuucapkan kepada teh tawar menawar yang sudah menemani pagi yang sunyi ini. Bukan asal sembarangan kalau dari sekian banyak orang tak ada yang dapat mengerti substansi kata-kata. Nah disitulah dunia ini terasa begitu sunyi. Tapi rasanya tak perlu khawatir. Kalau aku saja dihadirkan di dunia sendirian dan mati nanti pun sendiri, lantas kenapa harus heran dan khawatir dengan kesunyian? Ketidakmengertian pun begitu, kalau manusia saja ada kalanya tak mengerti, lantas dengan argumen apa ia menafikan Yang Maha Mengerti? Kalau ada yang tak mengerti pasti ada yang tidak mengerti. Maka rasanya sungguh lucu kalau musti mengkhawatirkan hal itu.

Bicara ya bicara saja. Ini apa yang ada, dan hanya beginilah adanya. Kalau dipaksakan bicara dengan bahasa orang lain, tentu akan sulit. Sama-sama bingung nanti. Jadi ya maklumi saja keadaan yang begini. Sama-sama akan tersiksa satu sama lain jadinya. Teh tawar menawar tahu itu. Walaupun tak bicara dia, walaupun tak mendengar dia. Tapi ini hanya asumsi. Aku patut salah, karena kesalahan inheren dengan diri ini. Akal ini tak benar, punya keterbatasan pastinya. Apalagi untuk menilai kebenaran, rasanya tak pantas.

"Kebenaran hanya persepsi," katanya. Terserah saja menilai. Itu toh hak manusia. Apa lantas kita tak boleh menilai? Ya silahkan saja. Asal jangan berlebihan juga. Kalau begitu itu yang buat mata sakit melihatnya; telinga perih mendengarnya, yaah yang wajar-wajar sajalah. Kalau memang salah, ya silahkan utarakan dimana salahnya. Dan kalau benar silahkan mengangguk-angguk. Kalau aku sih lebih memilih diam saja. Tak mau bilang ini benar itu salah. Ya males rasanya. Tergantung kadar kepentingannya juga, kan begitu?

Kalau tidak penting ya tak usah sibuk mementing-mentingkan. Kadang suatu yang terasa penting itu setelah dipertimbangkan rasanya kok ya tak terlalu penting. Makanya malah yang dianggap tak terlalu penting itu yang justru penting. Terlalu cepat menyimpulkan sih, ya begitu jadinya. Santai sajalah. Kok belum apa-apa sudah ini itu. Tahu apa sih kita ini? Mari sini, kita ngeteh tawar menawar dulu. Belajarlah dari teh tawar menawar. Tindakan itu perlu tawar menawar dulu. Kecuali yang katanya "dari nurani", kalau memang tak ada perasaan kontradiktif ya silahkan saja lakukan apapun resikonya. Kalau memang tak bisa menolak, terus mau bagaimana lagi? Katanya kan "dari hati"?

Apa dan bagaimana yang orang rasakan toh beda-beda, jadi ya ikuti saja perasaan masing-masing. Kalau ngikutin perasaan orang, baru itu patut dipertanyakan: ini manusia atau robot, kok ngikutin kehendak orang lain? Jadi manusia itu harus orisinal dan otentik dong; teguh berprinsip, jangan orang bilang begini-begitu langsung goyang, kan begitu?

Ya maksudnya ya kemurnian diri itu. Dari masih kecil sampai remaja yang masih bertendensi meniru, lalu selanjutnya harus bisa dong menjadi seorang yang orisinil. Belajar saja lagi dari teh tawar menawar. Teh dengan orisinalitas yang murni tanpa campuran apapun. Coba nikmati saja sendiri, dan rasakan bagaimana kemurniannya. Tak perlu pakai gula segala, karena kita ini mau merasakan benar-benar bagaimana otentisitas teh itu tadi, kan begitu? Ya itu maksudku. Ayo minum lagi, mumpung masih anget...

Lho, ya kalau mau belajar itu bisa darimana saja. Kan sudah terbukti kalau dari teh tawar menawar ini saja sudah bisa diambil pelajaran, jadi tak usah dipersulit kalau mau belajar. Belajar saja kok diambil pusing; ribet, jadi susah masuk ilmunya ke kepala kan? Diambil asyik sajalah; santai, begitu...

Lihat saja ke arah sana, tuh ada pelajaran. Lihat saja ke arah sini, juga ada pelajaran. Kalau belajar harus dipersulit karena jarak dan keadaan, ya tak belajar-belajar nanti, kan begitu? Semut bahkan debu saja secara tidak langsung sudah memberikan pelajaran kok. Lha kitanya saja yang tak sadar dan terlalu simplistis dengan mengatakan "ah semut begitu saja kok; ah debu begitu saja kok. Emangnya tak ada yang lebih berbobot?" Kan begitu?

Yaaahh terlalu anggap enteng sih. Ilmu dan pengetahuan kita ini seberapa sih? Memangnya sudah tahu segala, atau memangnya sudah tahu banyak? Coba saja korek-korek lagi tuh isi kepala, dan hitung seberapa isinya. Lha kalau dari seekor semut atau sebutir debu saja kita tak bisa menarik atau menemukan sebuah pelajaran, kan berarti kita tidak lebih hebat dari sebutir debu? Berarti daya nalar kita ini kan tak begitu mampu untuk membaca esensi dari fenomena yang sangat kecil daripada otak kita ini. Gitu saja kok dibuat susah. Kitanya ini yang membuat diri ini susah; kita ini yang tak mampu. Tak usah salahkan semut atau debu begitu.

Sudah siang ini. Matahari sepertinya mau bilang untuk menyudahi acara ngeteh ini. Sinarnya sudah nembus kulit begini. Okelah Pak Matahari, kami pasti berhenti ngeteh. Tapi besok masih bisa ngeteh lagi kan? Ya mana kita tahu kalau besok Pak Matahari masih akan nongol dari timur. Kalau sudah begitu kan tak ketemu lagi kita. Rasanya terlalu cepat saja waktu ini. Baru serasa beberapa menit menikmati kok sudah harus selesai. Atau memang kita tak merasa menikmati atau bagaimana ya? Pak Matahari ini lho, cepat sekali datangnya. Kalau agak lama sedikit kan kita masih bisa lama ngetehnya. Tapi ya sebagai seorang manusia yang serba terbatas bisa buat apa? Menolak keadaan saja tak mampu. Okelah Pak Matahari, kita bangkit. Selamat siang bumi!!

[Tulisan ini juga terdapat di blog monyetsinting.blogspot.com]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun