Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siap-siap Nerima Ketetapan Tuhan

31 Maret 2017   14:22 Diperbarui: 4 April 2017   00:06 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber gambar: www.nu.or.id

Barusan saya memikirkan tentang kematian. Dari situ pula kemudian saya menyadari bahwa belumlah bisa dikatakan suatu keikhlasan kalau seorang manusia belum bisa menerima siksaan Tuhan di akhirat nanti.

Memang usaha untuk memohon ampun kepadaNya, hal itu bisa dikatakan adalah suatu kemestian bagi setiap orang yang menyadari hakikat diri dan kehidupan. Lagi pula, manusia mana yang ingin dirinya kembali kepada Tuhan dalam keadaan penuh dosa? Kalau Anda bertanya pada saya, tentu saya ingin kita semua "pulang" dalam keadaan bersih. Tapi memang ketika kita memikirkan kematian, hal itu pun terkadang masih mengandung sikap penolakan. Dengan kata lain, ketika Tuhan telah menentukan siksa bagi kita sebelum kita hidup dan berada di bumi, apa kita siap untuk menerima ketentuanNya tadi? Sekali lagi, mau tak mau saya kira kita mesti siap dengan ketetapanNya. 

Tapi tentunya hal ini pun bukan berarti kita mesti menghilangkan pikiran positif bahwa Tuhan tidak akan mengampuni kita. Bagi saya pribadi, pastinya berprasangka positif terhadap Tuhan adalah suatu kemestian. Lagian, tak ada yang tak mungkin bagiNya untuk mengampuni dosa seseorang walaupun dosa itu sudah menumpuk setinggi puncak Everest, misalnya. Pertanyaannya sederhana, yaitu: susah nggak sih kita bersikap demikian? Mungkin tidak, walaupun memang sulit untuk bisa memulainya.

Di lain hal, kita tahu Tuhan akan menempatkan kita di mana. Kita tidak tahu apa kita sudah ditempatkan di neraka atau di surga. Mungkin rahasia Tuhan yang satu ini bisa dikatakan sebagai suatu keuntungan. Dalam arti, karena manusia tak tahu dia akan ditempatkan di mana, maka dunia menjadi tempat untuk intens dalam usaha pertaubatan, mensucikan diri untuk kembali bertemu dengan Dzat Yang Maha Suci.

Atau dengan kata lain, siapkah kita –walaupun sudah mati-matian bertaubat dan beribadah– kalau Tuhan menetapkan kita di neraka yang panasnya melebihi panas di dunia? Mau tak mau, saya kira kita memang mesti siap apa pun konsekuensinya. Karena lagi pula, bisa dikatakan sikap seperti itu tak lain adalah sikap kecintaan kita terhadap Tuhan juga. Kita cinta kepadaNya, maka kita akan siap "diapa-apakan" olehNya. Lagian, bisa berbuat apa sih kita terhadapNya? Tapi saya kira kita tidak bisa tidak pasti yakin dan sangat yakin bahwa Dia tak akan mendzalimi kita. Tuhan mendzalimi manusia? Itu jelas tidak mungkin.

Dia adalah Dzat yang paling tahu mana yang terbaik bagi kita. Apakah kita akan mengatakan siksaanNya itu sebagai keburukan jika kita dimasukkanNya ke neraka? Tidak; itu bukan suatu keburukan, melainkan kebaikan. Kalau orang lain mengatakannya sebagai keburukan, saya kira hal itu karena orang tersebut tak paham dengan hikmah di balik siksaanNya.

Lagi pula, adalah suatu kelucuan kalau Tuhan bisa marah terhadap sesuatu yang telah dibuat dan ditetapkanNya sendiri? Dia beda dengan kita. Kita berada dalam kehidupan yang tidak kita ketahui konsepnya sehingga ada potensi akan mengalami suatu kemarahan. Dalam arti, tidak ada pada kehidupan ini sesuatu yang berada di luar kehendakNya sendiri sehingga Dia kemudian marah kepada kita. Kalau kita mengatakan Dia marah, itu cuma karena pemaknaan kita saja dalam mempersepsikan kasih sayangnya kepada kita. Dari hal inilah saya akhirnya menyadari bahwa, baik surga atau neraka, tidak lain itu semua adalah ungkapan kasih sayangNya. 

Dia tak mungkin mendzalimi; Dia tak akan mungkin berbuat kejam sebagaimana dzalimnya kita, kejamnya kita kepada manusia. Atau dalam arti lain, bahwa Tuhan tidak memiliki suatu niat buruk sedikit pun pada manusia. Kitalah yang berestimasi bahwa Dia kejam terhadap kita. Dari hal itulah saya kira kita memang cenderung keliru memahami sikap Tuhan, lantaran kita tak tahu hikmah atau nilai baik apa yang Dia berikan kepada kita. Dia tidak sama dengan makhlukNya. 

Kalau Dia memiliki keburukan atau niat tak baik kepada kita, maka Dia pasti bukanlah tuhan dan tak pantas diperlakukan sebagai sesembahan. Masalahnya, masihkah kita mempersepsikan Dia sebagaimana makhluk? Masihkah kita masih belum bisa memahami sifat dan sikap Tuhan kepada kita? Ya, saya sendiri pun masih selalu berusaha memahami hikmahNya. Dan saya kira hal itu memanglah suatu kemestian selama kita di dunia.

Lagian saya rasa, yang dinamakan keburukan atau kebaikan, kedua hal itu pada hakikatnya bukanlah keterpisahan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun