[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: i2.wp.com"][/caption]
Seringkali saya merasa iri ketika orang-orang menyebut kata "fundamentalisme", "fundamental", atau "fundamentalis" yang dikaitkan dengan sebagian para pemeluk agama. Dalam arti, saya iri karena istilah tersebut sebenarnya tak pantas diberikan kepada mereka, lantaran bagi saya, seorang fundamentalis atau paham fundamentalisme itu adalah sesuatu yang sangat esensial dan begitu mendalam.
Ditambah lagi kenapa saya iri kepada mereka, dikarenakan orang-orang yang sibuk dengan persoalan inkusisi keagamaan seperti itu hanyalah orang-orang yang seringkali memaknai ajaran agama secara harfiah atau sekedar tekstual belaka. Padahal, kalau mereka begitu berprinsip pada agama dan ajaran nabi, mestinya mereka mau memahami sebuah norma secara historis dan kontekstual. Dari hal itu, apakah orang-orang semacam tadi pantas dikatakan sebagai seorang fundamentalis? Bagi saya, tentu tidak, lantaran pola pikir atau pemahaman seperti demikian memang tidaklah esensial atau tidak hakiki. Dalam arti, bahwa apa yang mereka pahami memanglah baru sebatas kulit luarnya saja. Ditambah lagi, nyatanya tingkat pemahaman itu kan berlapis-lapis? Ada orang yang bisa memahami sebuah kalimat tapi belum tentu memahami subtansinya; Di sini diibaratkan seperti seseorang yang bisa membaca teks tapi dia belum tentu paham apa makna teks tersebut. Ada juga orang yang paham dengan substansi sebuah kalimat tapi belum tentu dia bisa memaknai esensinya; Ini kayak orang yang bisa memahami sebuah tulisan, tapi dia tidak bisa menemukan inti dari tulisan itu. Dan berdasarkan pengalaman saya, ketika orang-orang semacam ini mengomentari sebuah tulisan, seringkali komentar mereka tidak menyentuh esensi tulisan tersebut; komentar mereka periferal atau "gak kena".
Makanya dari hal demikian, ini pun sebenarnya tak terlepas dari faktor intelektual seseorang. Apalagi kalau dikaitkan dengan yang namanya agama, tentu substansinya tak bisa sembarangan dipikirkan "asal jadi". Kalau Tuhan berfirman tentang sesuatu, ya jangan langsung ditanggapi sekedar "oh, begitu tho." Saya sendiri sejauh memahami agama, nyatanya seringkali menemukan pengetahuan-pengetahuan baru dalam kontes-kontes aktualitas fenomena-fenomena tertentu. Padahal saya membacanya bukan hanya satu atau dua kali.
Memang paradigma tekstual seperti itu sangat disayangkan. Dan implikasinya, seringkali norma keagamaan hanya dimaknai sebagai suatu kemestian atau paksaan. Makanya saya kira ini juga yang membuat agama dipersepsikan sebagai ajaran-ajaran yang mengekang atau banyak aturannya. Dan satu hal yang pasti, aspek konsekuensi dan pertanggungjawaban di balik norma-norma agama tadi jadi terabaikan. Analoginya, coba saja larang anak kecil dan katakan "jangan main api!". Kalau cuma dilarang-larang, anak kecil tadi malah makin ngeyel. Tapi coba katakan "jangan main api, nanti ada yang terbakar; jangan main di luar, banyak kendaraan, nanti kamu tertabrak; jangan main pisau, nanti tanganmu luka", pasti mereka paham lantaran sebuah larangan atau norma tadi mempunyai alasan yang jelas terkait dengan konsekuensi dan pertanggungjawabannya. Jadi kalau orang hanya memahami agama hanya sebatas larangan atau norma-norma semata, mereka bagaikan seorang bocah yang selalu mengatakan "kata ibuku jangan begini; kata bapakku jangan begitu". Padahal mereka adalah orang dewasa yang sudah bisa berpikir sehingga mestinya mau untuk lebih memikirkan soal konsekuensi dan pertanggungjawaban tadi.
Dari hal itulah saya jadi iri. Harusnya istilah fundamentalisme itu justru diberikan kepada orang-orang yang mau berpikir dan memahami secara mendalam, baik atau dalam konteks agama maupun hal-hal non-agama. Dan tidak patut rasanya gelar fundamentalis tadi dilekatkan kepada mereka yang memaknai agama hanya sebatas identitas atau kostum belaka dan hobi mengata-ngatai umat beragama lain. Dan karena saya selalu pingin berpikir mendalam memahami sesuatu secara hakiki dan esensial, maka saya pun pingin menjadi seorang fundamentalis. Orang yang tidak berpemahaman fundamental kok malah dibilang fundamentalis?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H