"Selamat pagi," sapanya.
"Halo, selamat pagi. Bagaimana kabarmu?" Tanyaku
"Ah, baik. Masih dengan nama yang sama dan wajah yang sama juga. Ya, kau tahu. Aku begitu mencintai diriku ini."
"Makin cintakah kau dengan dirimu?"
"Aku kira memang iya. Dan selalu begitu dari waktu ke waktu."
"Ya, aku paham. Karena memang tak ada orang lain yang mencintai dirimu, begitu?"
"Tidak, kau salah, temanku. Kau lihat bagaimana orang lain juga mengagumiku. Bukan hanya aku yang mencintai diriku. Namun orang lain pun begitu," sambil membakar ujung rokoknya.
"Bagaimana bisa kau begitu? Sedangkan aku saja sudah sedemikian malas dengan diriku sendiri."
"Kau tahu, begitu hingar-bingarnya dunia saat ini. Semua orang ingin menampakkan dirinya. Nikmati sajalah yang terjadi. Biarkan dirimu disaksikan oleh banyak orang."
"Seperti kau? Hahahaha, aku tak yakin bisa melakukannya. Juga karena aku tak tahu kenapa aku harus melakukannya. Apa untungnya bagiku jika hanya menampakkan wajah semata seperti itu?"
Perdebatan klise tentang eksistensi yang dikonotasikan sebagai hanya popularitas semata telah membuatku bosan. Bukan bosan dengan keinginan seperti itu. Namun juga kebosanan pada diriku.