Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malangnya Kita Kalau Tak Bisa Mengetahui Tuhan

30 April 2017   18:58 Diperbarui: 30 April 2017   19:10 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.beshto.com"][/caption]

Manusia berbeda pandangan, itu merupakan suatu yang niscaya sampai akhir kehidupan nanti. Orang mau beranggapan bahwa manusia tidak bisa mengetahui Tuhan atau tidak, itu tak jadi sesuatu yang mesti dipermasalahkan.

Saya beranggapan bahwa suatu pemahaman atau pandangan tak terlepas dari tahapan intelektual maupun kegelisahan seseorang dalam mencari kebenaran. Saya kira, tentu juga tidak sedikit orang yang meyakini bahwa Tuhan adalah muara dari segala pencarian manusia akan hakikat kehidupan. Termasuk pertanyaan tentang Tuhan, saya pikir ini pun adalah sesuatu yang dicari-cari manusia; ingin diketahui dan ingin dikenali.

Di sisi lain, pencarian akan entitas kebenaran merupakan fitrah manusia dalam kehidupan. Manusia yang intens berpikir dan bertanya, akan mencari sesuatu yang bisa dijadikan prinsip dan bisa diyakini dalam kehidupan yang nampak tak jelas orientasinya. Saya mungkin akan bertanya, apakah kita, di tengah kenikmatan hidup ini masih akan mencari kebenaran atau tidak? Tak heran, bisa jadi lantaran kenikmatan hidup inilah yang mengakibatkan kegelisahan kita hilang sehingga kita merasa cukup dan merasa tenang dalam hidup yang seperti ini.

Padahal saya yakin, itu semua tak bisa memberikan ketenangan lantaran segala kenikmatan yang temporer ini hanya memberikan ketenangan yang sifatnya sementara. Dalam arti, bahwa manusia memang membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya benar-benar merasakan sebuah ketenangan. Lagian, rasio atau logika kita pun pasti akan mengakui bahwa segala materi di dunia tak akan mampu memberikan hal itu kepada kita. Bukan, kegelisahan kita akan pencarian visi atau orientasi hidup bukanlah yang seperti itu. Kegelisahan kita adalah kegelisahan metafisik yang juga mesti terjawab secara metafisik, apakah itu terkait dengan mentalitas, batiniah, atau bahkan keduanya. Apa mustahil kalau kegelisahan itu terjawab? Seandainya saja tidak terjawab, saya harus mengatakan bahwa kita, sebagai manusia, jelas-jelas berada dalam kemalangan. Kasihan sekali kita ini kalau begitu keadaannya. Dengan kata lain, Tuhan tidak memberitahukan kita tentang kebenaran dan kita tidak dapat mendekatiNya atau mengenaliNya. Padahal, saya kira, di dalam diri manusia pasti terdapat fitrah ingin mendekati dan mengenali Tuhan.

Tapi, mungkin hal itu pun tidak bisa begitu saja dikehendaki Tuhan. Tuhan bebas menentukan mana orang-orang yang akan mendekati dan mengenaliNya, atau bebas menentukan orang-orang yang akan menjauhi bahkan menafikan kehadiranNya. Dari situlah kita mesti bisa memahami bahwa perbedaan-perbedaan konklusi memang niscaya atau tentu terjadi. Lalu, apakah pantas kita memaksakan suatu ajaran agama pada orang lain? Atau, apakah pantas kalau kita bersikap sebagaimana anak kecil yang tak bisa menghargai perbedaan-perbedaan pandangan semacam itu? Jelas, tidak. Lagipula, kalau memang seseorang merasakan kegelisahan atas kehidupan, maka biarlah dia mencari sendiri salah satu laku spiritual yang akan dia jalani. Saya yakin, setiap agama memiliki laku spiritualnya masing-masing dalam mendekat kepada Sang Pencipta. Tapi, mungkin laku spiritual itu juga mempunyai orientasinya masing-masing; apakah hanya sekedar mencari ketenangan, mencari kebenaran, atau bahkan ingin mendapatkan semua itu termasuk ingin memiliki, mematuhi dan mencintai Sang Pencipta.

Lagipula, saya rasa memang itu sudah semestinya. Kita juga pasti menyadari kalau segala yang kita punya bukan milik kita. Semuanya ini Tuhanlah yang memiliki, termasuk diri kita sendiri. Lalu, apa yang pantas untuk kita miliki? Yang pasti hanya Tuhanlah yang mesti kita miliki. Logiskah, rasionalkah bagi kita memiliki Tuhan? Nyatanya, kita begitu kecewa ketika kehilangan sesuatu. Tapi, apa Tuhan bisa hilang atau pergi dari hidup kita sedangkan Dia Maha Kekal dan selalu hadir? Saya yakin kalau Tuhan tak akan mengecewakan kita kalau kepatuhan dan kecintaan itu sudah ada pada diri kita. Inilah muara tersebut; inilah orientasi utama seorang makhluk kepada Penciptanya. Buat apa kita mengetahui dan mengenal Tuhan? Apa Tuhan hanya sekedar disembah, diketahui, dan disebut-sebut ketika kita membutuhkanNya atau ketika saat momen ibadah saja? Ah, sekali lagi, kalau kita tak bisa mengenal dan bermesraan denganNya, rasanya malang bener kita ini. Atau, apa mungkin dia merasahasiakan kepada kita tentang dzatNya sendiri? Tidak. Bahkan dalam Kitab Suci pun Dia sudah memperkenalkan "diriNya" kepada kita.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun