"Seandainya kalian tahu! seandainya kalian mengerti bagaimana diri kalian itu!" teriaknya sambil menunjukki hidung orang satu persatu yang ditemuinya. Bukan lagi suara, bukan lagi pandangan mata, melainkan hanya perhatian dan keinginan untuk memahami kembali apa dan bagaimana diri dan kerohanian yang tak dapat memilih sesuai keinginannya.
"Siapa yang dapat memilih? Silahkan tunjukkan bukti bahwa seorang manusia dapat memilih apa dan bagaimana dirinya dapat berada." Tentu, tentu mustahil bila pada kenyataanya tak terdapat pilihan itu. Seorang manusia terjebak dalam ketiadaan pilihan dan mau tak mau harus menjalani kehidupan. "Sadarkan, sadarkan!" teriakannya menusuk ke dalam telinga-telinga orang yang seperti robot itu; tak sadar dan tak menyadari dirinya. "Jadi, mari kita biarkan Tuhan bekerja dengan sekehendakNya." Tak mampu manusia menyadarkan, mabuk-mabuk dalam segala keinginan yang sungguh jauh dari segala kebutuhan. Telah hilang rasa butuh, digantikan dengan keinginan untuk menikmati kenikmatan yang sekejap akan hilang, bahkan sebelum sampai pada titik kepuasannya.
"Tapi memang kita butuh! Kita butuh dan jangan dipungkiri!" teriak seseorang dari kejauhan.
"Diam kau kucing gila yang senangnya berkeliaran kentut di jalanan!" teriaknya pada orang tadi. Barusan rasanya keriuhan itu padam, atau menang waktu berjalan begitu cepat seperti persepsi seseorang terhadap waktu yang terlewat serasa baru kemarin? Banyak yang tak percaya suatu hari penghabisan akan terjadi, karena baru terkapar seekor kucing gila di tengah jalan yang masih sempat kentut sebelum terlindas oleh keterburu-buruan manusia. Juga siapa pula yang menyadari kalau waktu telah menunggangi segala aktivitas dan tentu itu termasuk ketidakbebasan untuk memilih?
"Sadar kau sekarang?! Sudah sadar kau?! Bangunlah, dan sadar sepenuhnya. Rebut kesadaran yang sesungguhnya. Itu kematian, bangun dan matilah!" bentaknya pada mereka yang terlalu takut disebabkan yang dilihat mata begitu indah; yang didengar begitu asyik, dan mulut yang tak bisa berhenti mengunyah. Raganya bekerja dengan baik dalam menerima berbagai racun yang perlahan mematikan segala kebanggaan.Â
"Panas benar di sini," keluhnya membangkitkan keringat yang tahu kemana akan mengucur; berkonvergensi, memusat ke arah yang sama dan merupakan tujuan. Ke bawah mereka mengalir dan tahu diri mereka . "Ya, itulah kami. Kami memberikan pelajaran yang jelas," ucap mereka bersamaan. "Dan kami tahu kemana kami akan pergi," tambahnya. "Ya, dan kalian harus amati hal-hal yang dapat kalian amati. Bukannya kalian harus terus belajar?" jelasnya bersamaan dengan matinya sebagian nyamuk di foging oleh manusia yang ketakutan terserang demam berdarah.
"Jangan salahkah nyamuk," katanya. "Cukup salahkan saja diri sendiri." Lupa semua kata yang terucap disebabkan nyamuk yang asyik tertawa karena lalainya manusia yang keseringan ceroboh. Terlalu ceroboh bahkan semakin asyik menunjuk-nunjuk hidung orang lain, dan selalu saja begitu walaupun muak orang itu sampai ingin muntah, pun juga tetap sama.
"Mari kita terus rayakan. Tentunya seandainya kita tahu bahwa apa yang kita lakukan ini adalah suatu kesalahan besar, tentu tak akan kita lakukan. Tapi memang, memang kita tak mau tahu sampai tak pernah tahu. Ayo rayakan saja!" teriaknya sambil mencaci maki sesamanya untuk berpesta diikuti cemooh, ejekan, dan berbagai kata-kata kotor lain.
Andai manusia tahu, ya andai manusia tahu bagaimana dirinya. Walaupun sangat sedikit memang yang menyadari. Biar pesta terus berlanjut, sampai mati dan puas terkapar dalam keriuhan kata-kata yang tajamnya lebih daripada mata pisau. Manusia lakukan itu; merobek-robek hati yang berada dalam tubuh tanpa menyentuhnya. "Lagi, lagi, kita tak pernah puas dan selalu ingin. Andai saja kita tahu. Andai saja..." Dan lupa diri lupa segala. Begitu nikmat apa yang ada, terasa sangat menginginkannya. Biar hancur akhlak dan moral, hancur pula dunia yang ditinggalinyaÂ
"Semua diam dan butuh diam. Biar alam yang berbicara apa yang telah kita perbuat. Biar alam yang membalasnya dan kita tak mampu berbuat. Ini resiko, konsekuensi dari segala yang kita lakukan. Beramai-ramai kita tak pernah berhenti berkeinginan. Kita tak bisa apa-apa. Kita berada di dunia yang tak terdapat pilihan bagi kita," jelasnya pada keramaian orang.
Seandainya kita tahu, seandainya kita mengerti dan mau memahami. Rasanya tak cukup hanya berandai-andai, karena mulut ini sudah sedemikian robek mengucapkan kata-kata yang sama berulang-ulang kali tetap tak ada kata yang kembali. Semua itu adalah pelajaran dan konsekuensi yang harus diterima tanpa bisa menolak. Bisa gila dan biarkan saja gila. Karena gila juga adalah konsekuensi yang harus diterima, apa mampu menolak? Seandainya, seandainya... Tapi sekarang dia sudah tak bisa lagi berandai-andai. Tak ada suatu perandaian. Inilah nyatanya. Sampai mereka tahu apa yang disaksikannya, walau sangat sedikit memang...