Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konstelasi dan Usaha Pencitraan Politik Presiden Jokowi

17 Februari 2017   07:41 Diperbarui: 17 Februari 2017   14:35 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: m.republika.co.id

Namanya juga politik, pasti susah ditebak dan seringkali bikin kita terkejut. Seseorang yang tadinya kawan, eh bisa bisa jadi lawan. Jadi, sama kayak nonton bola, dimana kalau kita tidak pantengin terus informasinya, kita tak akan tahu kalau pemain jagoan kita sudah tidak lagi tergabung di klub itu, malah kemudian menjadi lawan di klub "musuh bebuyutan". Tidak ada konsistensi. Apapun itu, kalau sudah menyangkut ego pribadi dan kepentingan golongan, aturan apapun ditabrak. Semua bisa berubah dalam sekejap mata, dari awal kita tidur sampai bangun kembali. Tapi mungkin persepsi kita (atau mungkin saya sendiri) melihat fenomena politik sekarang ini tidak lagi terkesan serius. Di balik retorika, di balik kosakata-kosakata yang sulit dipahami, di balik tampilan yang elegan itu, ada semacam sifat atau sikap laten yang begitu lucu, begitu menggelikan di dalamnya.

Hidup ini kok serius-serius bener sih, kan begitu? Nyatanya, segala kekakuan dan impresi-impresi seperti tadi tak bisa menjadi legitimasi sikap kedewasaan mereka yang ada di atas sana. Ada yang seperti anak kecil yang tak bisa menerima kekalahan (defaitisme) atau istilah lainnya "legowo"; ada sikap iri dan dengki; ada sikap menolak ketentuan hukum walaupun sudah jelas-jelas berbuat salah; ada perasaan selalu merasa kekurangan dana sampai akhirnya mereka berani korupsi. Mau yang bagaimana lagi, hayo? Sebut saja terus. Karena saking banyaknya kelucuan itu, akhirnya terbatas saya untuk menyebutnya.

Yah, tapi rasanya walaupun kita capek, jenuh melihat yang begitu itu, kok ada saja cerita-cerita yang kita tunggu-tunggu. Nyatanya, kita menginginkan itu. Kita menginginkan kekagetan semacam itu sebagaimana penonton dan komentator. Siapa yang menafikan kalau obrolan semacam itu sekarang tidak asyik? Lha, buktinya ibu saya yang biasa di dapur, sekarang mau mengomentarinya. Memang ada sikap antipati, tetapi secara paradoksal, ternyata kita juga secara tidak sadar berkomentar juga, yang berarti, tidak lain kita juga memperhatikan walaupun masih emoh.

Dan kalau belakangan ini kita disegarkan oleh fenomena dimana Presiden Jokowi memakai jaket bomber, potong rambut di barbershop anak muda dlsbnya, mungkin kiranya saya tidak keliru kalau mengestimasikan hal itu sebagai suatu pencitraan.

Barangkali Presiden Jokowi ingin mengubah citra politik yang selama ini kaku dengan jas dan dasi yang rapi, dengan gaya bicara yang berwibawa (tapi nyatanya tidak berwibawa) menjadi citra politik yang ramah, santai, kompatibel pada anak muda dan kalangan luas, tentunya. Biarlah masyarakat melihat jasnya, tingkahnya dulu. Bukannya tak mungkin kalau kemudian masyarakat akan lebih dalam, tidak hanya melihat perilaku Presiden, melainkan juga memerhatikan kata-katanya bahkan terhadap substansi dan fenomena-fenomena politik secara lebih komprehensif. Sekali lagi, ini pencitraan. Dalam arti, usaha pencitraan dalam mengubah citra politik itu sendiri.

Selain konstelasi politik seperti tadi, pastinya kegaduhan yang terjadi belakangan ini menjadi sesuatu yang bikin penasaran. Soalnya, anggota keluarga yang di sana itu sudah pakai kata-kata "kampungan", "busuk" segala. Kalau sudah begini, pasti menarik ini namanya. Pasti ada lanjutannya, kan? To be continue, tho? Tak tungguin...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun