Bicara soal kebenaran memang selalu relevan sampai kapan pun, terutama ketika kerancuan nilai-nilai sudah sedemikian chaos. Dari situlah saya jadi berpikir, pada apa lagi kita akan berpegangan selain pada nilai kebaikan dan kebenaran?
Saya selalu yakin kalau kebenaran itu objektif dan bukan subjektif, apalagi relatif. Nyatanya, memang pernah terjadi perdebatan-perdebatan bahkan terhadap orang-orang yang sama-sama menjalani laku spiritual dalam mendekati Dzat Yang Maha Benar. Tapi, walaupun jalan dan caranya sama, kenapa masih terjadi perbedaan-perbedaan pandangan semacam itu? Mungkin kita hanya lupa, bahwa persepsi tiap orang tentu berbeda dalam "memandang" entitas kebenaran. Terus, apa kemudian dari hal itu kita harus mengatakan bahwa kebenaran itu relatif? Atau, apa tiap orang memiliki kebenarannya masing-masing kalau kebenaran yang kita lihat itu pada hakikatnya hanyalah satu dan sama? Jujur, saya masih heran kalau penilaiannya seperti itu.
Inilah susahnya. Dari hal demikianlah saya terkadang berpikir, apa kemudian tidak seharusnya (persepsi) kebenaran itu disampaikan pada orang lain? Karena bukannya apa, saya rasa, ketika persepsi (subjektif) akan kebenaran itu disampaikan pada orang lain, tentu segala pandangan dan pemahaman, persepsi, tingkat intelektual dan spiritual, maupun paradigma seseorang akan berbenturan, karena di sinilah niscayanya titik perbedaan kita. Analoginya, jika dihidangkan suatu makanan yang paling enak di hadapan banyak orang, siapa yang menjamin bahwa semua orang di situ akan mengatakan makanan tersebut enak? Atau dalam hal lain, jika misalnya banyak orang rame-rame memandang suatu pemandangan alam, pun tak ada yang menjamin orang-orang akan sebegitu takjubnya ketika matahari muncul dari balik pegunungan.Â
Pasti ada yang takjub, ada yang biasa-biasa saja karena memang sudah pernah melihat itu, dan tentu ada yang ditinggal tidur karena memang dia tinggal di daerah situ sehingga sudah terbiasa dengan fenomena sunrise. Atau, ketika kita melihat seorang perempuan, tentu ada yang bilang cantik, jelek, binal, sopan, berhati busuk, dlsbnya.Â
Lagian, jangankan soal kebenaran, karena terhadap Tuhan pun kita pasti memiliki persepsi-persepsi yang berbeda sehingga kita sekarang hidup di tengah-tengah umat-umat beragama dengan tuhan-tuhan kepercayaannya masing-masing. Soal tuhan itu seperti apa; soal tuhan yang mana, Anda punya jawabannya masing-masing, tentunya. Pada pandangan-pandangan yang beginilah kita menilai bahwa hal itu sebagai subjektivitas. Padahal, kita hanya melihat pada satu objek yang sama.
Nyatanya, memang disitulah perbedaan-perbedaan kita, baik secara intelektual, spiritual, maupun eksperiensial. Lagian, saya rasa memang sudah seharusnya kebenaran itu didekati. Jelas penilaian yang salah kalau seseorang sudah merasa benar atau sudah merasa menggenggam kebenaran dan terlepas dari kekeliruan. Kok hebat banget orang seperti itu? Berarti kita tak boleh ya kasih saran ke dia? Berarti kita tak boleh mengkritiknya? Kalau itu terjadi (tentu sudah terjadi), akhirnya yang bisa disaksikan hanya orang-orang yang berbuat semaunya dengan berdalilkan paradigma "aku sudah benar". Saya masih heran dengan sikap manusia yang begitu? Terus, apa pantas kalau seseorang berbuat onar cuma karena dia merasa tindakannya tadi benar? Gawat nggak tuh orang kayak gitu?
Memang, nyatanya pun seringkali orang-orang yang berprinsip pada nilai-nilai tersebut menjadi berbenturan dengan pihak lain. Contohnya, seperti para nabi dan rasul. Lagian, mana ada sih orang yang suka "keasyikannya" diganggu oleh orang-orang yang memang mau menegakkan kembali nilai-nilai? Jelas tak suka mereka.Â
Tapi dalam arti, saya tidak mengaitkan orang-orang yang berprinsip pada nilai-nilai ini ke semua orang-orang beragama, lho ya. Tidak semua orang beragama berprinsip pada hal itu. Juga, saya rasa tidak ada seorang nabi dan Rasul yang merasa sudah benar, bahkan di hadapan Tuhan. Tapi tentunya, merupakan suatu kemestian kalau kita berprinsip kepada nilai-nilai tersebut. Apa ini persoalan agama? Saya sendiri menilai bahwa ini sudah di atas persoalan agama, walaupun tentu ada implikasi agama. Tapi lagi-lagi, kalau melihat fenomena belakangan ini, kok saya merasa bahwa agama telah dipersepsikan keliru sehingga umat beragama menjadi terhalang dalam mendekati kebenaran.Â
Padahal faedah agama itu tidak lain adalah metode, jalan, atau cara untuk mendekati Tuhan, dimana kebenaran tentu hanyalah Dia semata yang memiliki. Makanya kalau sudah pada konteks ini kita juga menyebutnya sebagai sebuah keyakinan, kan begitu? Dalam arti, suatu orang atau golongan memiliki keyakinannya (agamanya) sendiri dalam usaha menempuh jalan mendekati kebenaran yang satu tadi. Dan pantaslah rasanya kalau Tuhan memang meniscayakan keberagaman di dunia.
Tapi kalau kita bicara soal kekeliruan, apapun itu bentuknya, memang tidak bisa tidak bahwa manusialah yang menyebabkan kekeliruan tersebut. Soalnya, saya mau menyalahkan setan juga tak bisa. Jadi, mau menyalahkan siapa lagi kalau bukan orang lain atau bahkan diri saya sendiri? Saya pun tak mau jadi orang yang merasa benar sendiri lantaran kebenaran memang menjadi prinsip kita semua. Lagian, apa sih pencarian kita dalam hidup? Apa memang kita dihidupkan asal hidup dan menjalani kehidupan tanpa konklusi? Bagi saya, tentu semua ada muaranya. Apa tak bosan hidup di dalam kerancuan dan kekacauan nilai-nilai kayak begini?
Saya sendiri tentunya ya bosan. Apalagi nyatanya, kebanyakan manusia memang tidak berprinsip sehingga yang diikutinya hanyalah kekosongan dan kekeliruan. Saya tak tahu kapan saatnya kita akan, secara personal, menghadapkan wajah dan jiwa kita "sepenuh hati" kepada Sang Pencipta. Terserah bagaimana orang mau menilai (persepsi) kebenaran itu. Tapi yang pasti, adalah suatu usaha kolektif dimana kita berusaha selalu berprinsip padanya.[]