Kadang-kadang saya membayangkan gimana ya seandainya di negeri kita ini pakai hukum agama?
Tapi, sekedar catatan, imaji ini tak ada kaitannya dengan persoalan ideologi ormas lho ya. Ini sekedar imaji.
Kata orang hukum kita tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Ini keadaan kita sekarang, yang tidak lain permasalahannya terletak pada manusia yang menerapkannya. Dan saya pikir, kalau begini keadaannya bisa makin gawat negeri ini kalau pakai hukum agama. Bayangkan saja, bakalan lebih sering kita lihat orang-orang miskin yang tak bertangan karena dipotong tangannya.
Beda dengan di masa Rasulullah Muhammad saw. dimana pernah ada seorang wanita yang mengaku berzina lalu kemudian dirajam setelah dia melahirkan. Lha sekarang gimana? Bisa nggak kita jujur begitu? Bayangkan saja, soal berzina pun ada yang mau jujur pada saat itu. Apa kita akan bilang masyarakat saat itu masyarakat bodoh? Apa kita akan bilang dalam hati, "Goblok! Berzina kok ngaku!"? Jadi bisa dikatakan ini juga soal moralitas.
Saya sih bukannya tak mau kalau kita menerapkan hukum Tuhan. Silahkan saja. Masalahnya, kualitas keagamaan, spiritual, maupun persoalan nilai-nilai saja kita masih sangat jauh. Rasanya wajar kalau pada masa Rasulullah ada orang yang mau jujur mengatakan dirinya bersalah, karena memang aspek-aspek primordial kemanusiaan (juga ketuhanan) itu sudah tinggi kualitasnya. Pemahaman soal kehidupan pada masyarakat saat itu pun benar-benar hakiki. Tidak seperti kita yang terlalu serius dan keasyikan dipermainkan dunia. Bahkan seringkali kita tak terima kalau yang bukan punya kita ini diambil.
Maka pantas kalau Umar ibn Khattab ra. menasehati rakyatnya pada saat itu untuk menghisab dirinya masing-masing sebelum dihisabkan di akhirat nanti. Saya suka nasehat Umar itu. Dan itu saya tanam pada jiwa saya.
Ini juga soal kejujuran terhadap Tuhan, orang lain maupun diri sendiri. Ini soal bagaimana kita menghukum diri kita sendiri sebelum seenaknya menghukum orang lain, apalagi dengan hukum Tuhan dimana yang memvonisnya pun masih banyak yang tak beres.
Jadi --saya membayangkan lagi-- kalau memang aspek-aspek primordial tadi sudah cukup berkualitas dan bermutu tinggi, barangkali kita tak akan segan-segan memotong tangan kita sendiri kalau kita mencuri. Tak usah kaitkan dengan persoalan HAM. Kalau saya memotong tangan saya sendiri, yang tahu konsekuensi ruginya tidaknya kan saya sendiri. Bukannya di Jepang juga masih ada ya yang namanya Harakiri? Masih ada nggak sih? Tak tanggung-tanggung, mereka langsung bunuh diri lho. Jadi seandainya kita berani untuk memotong tangan kita, itu belum apa-apa dibanding langsung suicide.
Setidaknya kita ya mesti belajar untuk merasa berdosa, merasa bersalah dan tidak gampang menunjuk-nunjuk batang hidung orang untuk menghakimi mereka. Apalagi orang miskin, yang katanya sering jadi korban ketajaman hukum tadi. Ngutip sebiji buah di pabrik orang, langsung dilapor.Â
Proses hukumnya pun kayaknya mudah saja. Beda dengan proses hukum orang-orang berduit yang sampai pakai ahli-ahli profesional segala. Itupun ceritanya puanjang banget dan berbulan-bulan.
Bahkan yang namanya sumpah pun begitu mudahnya disebut di mulut. Atas nama Tuhan, katanya. Dalam hatinya berkata, "Ah, wong Tuhan jauh di sana kok. Mana mungkin Dia lihat."