Agak kurang ajar memang. Bukannya mau meramaikan kekurangajaran yang sudah sedemikian masif. Tak tahulah kalau memang ada niat ikut-ikutan. Mungkin juga kurang kerjaan sampai harus ngelakuin yang begitu. Kalau tak tahu lagi mau buat apa ya ikut-ikutan saja. Kan kira-kira begitu. Ya, mungkin penilaian ini terlalu apriori.Â
Ngekor sana ngekor sini. Lihat orang begini begitu ya kok dilakuin juga. Kenapa tak cari kerjaan lain yang punya karakteristik otentik. Itu punya orang. Kalau orang suka diikuti begitu mungkin beda dengan orang yang lain. Bukannya apa; Ada kemuakan yang timbul. "Kok jadi diikuti begini ya?" Kira kira begitu. Ayolah kreatif sedikit. Jadi diri sendiri. Apa memang untuk jadi diri sendiri itu susah?
Ya jelas. Ini pertanyaan klise yang harus selalu ditanyakan. Apa mesti kita lupakan. Apa? Kau bilang memang sebaiknya kita lupakan? Ohhh... begini, aku tak memaksa. Silahkan lupakan. Tapi jangan marah kalau aku selalu ingatkan kau. Oke?
Bukannya dari dulu aku selalu ingatkan kau? Lho kenapa marahnya sekarang? Haduh jangan cepat dilupakan begitu dong. Dan juga jangan sengaja melupakan. Tak mungkin kita lupakan itu. Kalau yang baik-baik silahkan kau lupakan. Tapi yang buruk-buruk tentu bisa jadi bahan perbaikan untuk kedepan. Makanya aku selalu ingatkan kau. Dan aku akan selalu mengingat itu. Bagaimana, setuju?
Kita coba saling mengerti saja. Ya, ini juga bukan hal yang baru bagi kita. Aku selalu ingin begini. Apa kamu keberatan atau tidak, ya silahkan kamu utarakan. Jangan dipendam-pendam dong. Tak enak begitu. Oke?
Yang kita butuhkan itu jelas keterbukaan, atau keterbukaan yang jelas, kan begitu? Nah akhirnya kau paham. Ya, apapun itu segala kekurangajaran ini janganlah diabaikan. Tolong ingatkan aku selalu akan kekurangajaranku. Itu yang kubutuhkan.Â
Aku tak mau ikut-ikutan seperti itu. Mereka ya mereka; aku ya aku. Aku punya kerjaan begini ya cukuplah aku saja yang begini. Aku tak akan peduli apapun itu. Segala yang disaksikan orang terhadapku adalah sudut pandang mereka yang bervariasi dan unik-unik. Ya, aku katakan saja begitu. Lagian aku mau bilang apalagi? Benar, aku tak bohong. Aku merasa harus mengatakan itu.Â
Itulah bedanya. Aku yang tak sepertimu yang suka membohongi diri sendiri. Kau bilang aku bohong sedangkan aku mengatakan jujur. Yang benar dikatakan sajalah. Aku bukan orang yang tahan menahan-nahan kebenaranku. Kau tahu itu kan? Kau tahu aku kan? Ya sudah.
Memang sulit untuk meyakinkan orang. Meyakinkan kau saja susah. Seolah aku ini orang yang baru tadi pagi ketika kau bangun tidur kau kenal. Bagaimana dengan orang lain yang baru seperempat jam mengenalku? Aku tak tahu apa ini terjadi hanya padaku atau kau juga mengalaminya. Aku tak tahu. Pengalaman kita tentu berbeda. Kalau ada yang sama juga jangan heran. Aku kira kau paham yang kukatakan ini. Ya, aku tahu bagaimana kau.
Kau tahu dan kau sudah lihat sendiri. Kalau memang ada yang belum kita ketahui tentang personalitas masing-masing, kukira itu wajar. Aku mustahil memahamimu, dan orang mana yang mau dirinya dipahami oleh orang lain? Memang ada. Tapi kenapa harus meminta? Sedangan disisi lain tak ada usaha untuk memahami orang lain. Aku tak minta kau memahami aku. Kalaupun kau pahami aku, kau tak akan mampu memahamiku seutuhnya. Lagi-lagi ini klise. Sadarkah kau?
Janganlah kau bosan begitu. Ikuti saja alur ini kemana akan membawa. Aku tahu kebosananmu karena seolah-olah itu-itu saja yang kau temui. Aku tahu itu. Tapi aku rasa kau yang tak paham. Kau tak melihat sesuatu yang berbeda pada hal yang kau alami. Cobalah temukan. Kau akan sadar dimana letaknya.