Hater atau haters kok belakangan ini banyak diperbincangkan ya? Saya sendiri tak begitu tahu apa itu hater. Tapi asumsi saya sih dasar kata terminologisnya berasal dari hate atau benci; tidak suka. Maklum, saya tidak begitu aktif dan mengerti dalam bermedia sosial, dan hanya melihat atau menonton dari luar berbagai fenomena yang dilakukan orang-orang didalamnya.
Kalaupun ternyata banyak hater yang bermunculan, rasanya tak bisa dilepaskan dari implikasi keduniamayaan. Kita tahu (dan merasakannya) bagaimana serba cepatnya progresivitas di dunia maya tersebut. Bagaimana seorang pengguna melakukan aktivitasnya (contohnya selfie) kemudian LANGSUNG memposting dengan hanya beberapa menit atau detik saja berpuluh, atau beratus mata sudah langsung dapat melihatnya. Keterburu-buruan dalam memposting itu yang ternyata berdampak besar terhadap perilaku (termasuk juga psikis) seseorang. Kenyataannya sangatlah sedikit orang yang mempertimbangkan pantas tidaknya atau utilitas dari postingannya itu. Karena tak bisa diabaikan bahwa secara tidak langsung ada semacam kompetisi, berlomba-lomba menampakkan diri atau katakanlah bereksistensi. Semua ingin dilihat, ingin didengar, mendapatkan pujian, legitimasi apapun itu bentuk kegiatannya. Bahkan walaupun itu hanya sekedar senyum yang itu-itu saja. Dan perilaku semacam itu juga tak terlepas dari tuntutan zaman. Siapa yang tidak melakukan itu (terutama pada kalangan muda) akan mendapat persepsi tidak modern, kuno, kampungan, bukan bagian dari zaman, dsb walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit. Kepunyaan terhadap teknologi terbaru secara tidak langsung telah membuat suatu status sosial kepada pemakainya. Sehingga muncullah ketakutan baru yakni takut ketinggalan zaman.
Lalu kemudian apakah postingan itu akan mendapat opini atau komentar, itu jelas diluar kuasa si pemosting. Dan pada tahap inilah fenomena hater itu muncul dan berkembang. Penilaian dari para komentator jelas tak bisa diperkirakan isinya. Pujian atau malah ejekan dan cemooh tentu itu adalah kebebasan berkata-kata (tidak dalam arti bebas sampai mengabaikan etika) seseorang. Dan disini jugalah para pengguna seharusnya lebih bisa mempertimbangkan terlebih dahulu konsekuensinya sebelum bertindak. Karena kalau dipikir-pikir kedepannya bukan tidak mungkin sarkasme seperti itu akan terjadi juga pada dunia riil ini, karena sudah terbiasanya melakukan itu di dunia maya.
Dunia maya adalah fenomena parsial dari dunia nyata. Postingan di berbagai medsos jelas bukan merupakan keseluruhan dari apa dan bagaimana kenyataan sebenarnya. Keterburu-buruan berkomentar tentunya tak lepas dari persepsi dan penilaian komentator dalam melihat suatu postingan. Apakah si komentator atau hater tahu dengan kenyataan atau substansi sebenarnya dari postingan orang lain, jelas bahwa jawabannya adalah tidak. Bagaimana watak sebenarnya dari si pemosting adalah hal lain di balik postingannya itu, dan tak bisa begitu saja (terburu-buru) menilai orang lain, padahal kenal pun tidak, dan mungkin baru sekali itu saja melihat postingannya. Walaupun kita bisa pula berasumsi bagaimana watak penggunanya dilihat dari representasi postingannya.
Agaknya memang perlu bagi kita untuk secara kolektif lebih berusaha menahan (nafsu) diri sebelum memposting, berkomentar, beropini, dsb. Media sosial pada genggaman kita memang terkesan mudah dan gampang karena medsos masih inheren dengan kebebasan berekspresi, bereksistensi dan juga impresinya yang berseberangan atau berjarak dengan dunia nyata ini. Padahal kenyataannya implikasi dari medsos itu jelas belakangan ini sudah kita lihat sendiri. Bagaimana orang yang memposting dengan alasan hanya iseng, hanya curhat, dsb adalah karena komunikasi di dunia maya yang memang tidak secara tatap muka; eye to eye secara langsung, sehingga tidak ada atau terabaikannya pertimbangan konsekuensi baik buruknya dalam beraktivitas di medsos. Maka tak seharusnya para pengguna bersikap simplistis terhadap kegiatan di medsos. Dan ternyata dampaknya bahkan "sangat serius".
Ya, semoga saja sarkasme seperti itu tidak terjadi di luar dunia maya. Dan yang harus kita pikirkan lagi adalah bahwa tidak ada kompetisi atau berlomba-lomba dalam memposting (bereksistensi) sehingga tak seharusnya terjadi keterburu-buruan itu. Kehendak untuk berlomba-lomba memposting tentu tanyakan saja kepada diri sendiri kenapa bisa sampai muncul kehendak itu. Apalagi kalau sampai begitu berdampak serius dan mengabaikan utilitas dan kualitas postingan apapun itu bentuknya. Percuma juga kalau cepat-cepat memposting ini-itu kalau hanya membuat orang lain jenuh karena itu-itu juga postingan yang dilihatnya.
Lantas, sebenarnya apa hakikat penggunaan medsos selain hanya untuk sekedar memposting perihal (kegiatan) pribadi dan bereksistensi semata? Tak mungkin kan penggunanya sendiri tak tahu jawabannya? Atau mungkin karena (lagi-lagi) keterburu-buruan itu sampai tak tahu atau tak terpikirkan pertanyaan tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H