Kipas angin ini berputar cukup kencang. Mungkin level paling tinggi. Sebenarnya bukan aku kehendaki juga. Karena aku tak pernah menyalakan kipas angin pakai perhatian. Jadi ya asal tekan atau putar saja. Yang penting kipasnya nyala.Â
Kalau malam panas begini apa pedulinya? Yang diinginkan ya cuma rasa adem.Â
Aku jadi ingat waktu dulu masih ngekos. Kalau siang-siang kepanasan pasti larinya ke ATM terdekat. Lumayan, AC-nya dingin juga. Pura-pura ambil uang, padahal cuma tekan-tekan tombol doang. Dan selalu begitu cuma untuk ngadem karena kepanasan.Â
Kalau sudah kepanasan ya mau buat apa? Kadang kipas angin juga tak mempan ngasih angin yang adem. Malah kalau siang-siang yang panasnya "kelewatan" angin dari kipas itu malah terasa panas, bukannya dingin. Mau pasang AC ya tak memungkinkan. Ya soalnya lihat situasi kondisi juga.
Memang kupikir aku goblok juga. Sudah tahu panas malah bukannya mandi. Kemalasan sering diikuti. Tapi semoga setelah ini ya mandi. Walaupun tak janji. Mau janji ke siapa? Ke panas? Ke kipas angin yang masih muter? Kipas angin muter terus-terusan ya itu juga sudah tugasnya. Dia diciptakan memang untuk itu. Ya memang kalau cuaca cenderung panas para kipas angin ini menjadi pahlawan kepanasan. Bukan pahlawan kesiangan. Walaupun siang itu juga panas.
Di negeri ini cuacanya kalau tak panas ya dingin. Ya habis hujan itu. Nikmati sajalah. Kau tak perlu banyak ngeluh tentang keadaan. Emangnya kalau tinggal di negara lain sudah pasti akan enak? Ya tak tahu. Orang belum pernah ke negara lain.
Memang aku tak perlu berlagak tahu kalau aku memang tak tahu. Apa dan bagaimananya tentu mereka maupun Anda lebih tahu. Ya, tapi aku hanya menikmati saja. Soalnya ya cuma itu yang bisa dilakukan.Â
Lebih baik tidur. Karena besok katanya mau niup bendera. Ya, aku dengar bendera kita lesu, lemas. Angin tak ada yang bertiup. Jadi katanya butuh orang yang mau niup itu bendera. Kalau itu untuk negeriku ya tak apa. Sampai mampus terkuras itu nafas juga Okelah. Sekarang siapa lagi yang mau? Mereka tanyakan ke orang lain sampai pelosok-pelosok tetap tak ada yang mau. Mereka tawarkan dengan gaji tinggi pun begitu. Nihil; semua menolak. "Capek," katanya. "Bisa sesak nafas," tambahnya. "Saya punya penyakit asma," keluhnya. Selalu begitu dan jawaban sama saja.Â
Sampai tawaran itu padaku. Gila bukan baru tadi pagi bendera itu lemas begitu. Sempat kupandangi bendera itu sebelum kuiyakan tawaran itu. Bisa tidak ya? Apa mampu? Kataku dalam hati.
"Lihat saja, seluruh tiangnya sudah berkarat. Kena panas, dingin. Hujan panas yang tak menentu."
"Tapi kalau urusan tiang bendera itu bukan urusan saya. Mau karatan atau tidak. Mau tinggi atau pendek itu bukan kerjaan saya," komentarku. "Bisa-bisa waktu kutiup nanti malah tumbang nih tiang," kataku dalam hati. "Tapi yang penting kan bendera yang lemas ini kembali berkibar."