Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Sih Hebatnya Agama?

10 Juli 2017   19:27 Diperbarui: 10 Juli 2017   19:36 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Ada nggak sihsebenarnya kebanggaan pada diri kita sebagai umat beragama --apapun itu agamanya? Kalau jawabnya "ada", lalu apa yang kita banggakan? Apakah diri kita? Atau, agama yang kita anut?

Mungkin di tengah sikap membanggakan agama tadi, saya lantas berpikir soal utilitas dari sebuah agama. Apa agama itu? Apakah dengan adanya agama kita akan menjamin masyarakat atau penganutnya menjadi lebih baik? Atau, kalau misalnya agama diturunkan Tuhan di suatu wilayah yang penuh kebodohan, yang kemudian dibentuklah sistem pemerintahan teokrasi, apakah otomatis masyarakatnya jadi lebih baik dan benar daripada masyarakat di negeri lain yang tidak menerapkan sistem demikian?

Barangkali kita terlalu berketergantungan pada agama. Ini tidak salah, karena kita jelas memang membutuhkan petunjuk Tuhan atas keterbatasan diri kita. Tapi, mungkin kita lupa bahwa diri ini juga mestinya jangan bersikap pasif. Dengan kata lain, mestinya kalau beragama ya jangan hanya sekedar beragama tanpa memahami ajaran agamanya. Atau yang lebih parah, agama mestinya jangan cuma dimaknai sebagai identitas sosial saja.

Maka, kalau seandainya agama diturunkan Tuhan di suatu pemukiman orang-orang paling bodoh sekalipun, tanpa mereka mau aktif berpikir, tanpa mereka mau aktif memahami, agama hanyalah sekedar buku tua yang berdebu yang tak tersentuh tangan manusia. Ya, agama memang ibarat sebuah buku. Buku itu ada di depan kita dan mesti kita baca. Apa cuma sekedar di baca saja? Pastinya tidak, melainkan juga harus dipahami substansinya supaya ditemukan nilai-nilai hakiki atau hikmah di dalamnya. Bukannya asas maupun esensi agama itu terdapat pada Kitab Suci?

Dari hal itu, di tengah kebingungan dan ketidaktahuan manusia soal nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, manusia jelas membutuhkan suatu kepastian dari Sang Pencipta. Di dalamnya juga mesti terdapat berbagai etika dan norma soal bagaimana mesti berprilaku di hadapan Tuhan, di hadapan sesama, maupun dengan sekalian alam. Agaknya perlu untuk kita membayangkan sendiri bagaimana seandainya Anda menjadi manusia pertama di dunia ini dan tidak ada siapa-siapa. Kepada siapa Anda akan meminta? Kepada siapa Anda akan bertanya soal kenapa Anda dihidupkan ke dunia? Mau apa kita di dunia ini? Atau, kenapa kita harus berhadapan dengan suatu keburukan maupun permasalahan-permasalahan dunia? Kepada siapa kita akan bertanya sedangkan motivator-motivator yang Anda banggakan itu pun belum dihadirkan di dunia? Tentu Anda akan bertanya hanya kepada Yang Menciptakan diri Anda. Atau, jangan-jangan kita masih bingung dengan bagaimana dunia ini bisa tercipta dan siapakah yang menciptakannya?

Mungkin kebanyakan dari kita sebagai umat beragama belum merasakan suatu kondisi dimana dirinya sangat butuh agama. Agama yang dianut selama ini hanya diterima dan dijalani begitu saja. Atau, jangan-jangan kita pun tak tahu kenapa mesti beragama, lantaran jika kita tidak beragama kita akan dianggap sebagai orang yang sesat dan lain sebagainya?

Nyatanya, rasa butuh terhadap agama ini tidak bisa tidak haruslah melalui suatu pengenalan akan hakikat diri. Begitupun terhadap Tuhan, jika kita tidak sadar akan kehadiranNya dan tidak merasa bergantung kepadaNya, maka rasa butuh akan petunjukNya tadi tidak akan bisa didapat.

Di sisi lain, mungkin agama tak akan memiliki kehebatan apapun jika dia masih berada di luar diri kita dan tidak berada pada pemahaman maupun tidak merasuki segi intelektualitas dan spiritualitas kita. Atau dengan kata lain, utilitas agama maupun dampaknya bagi seseorang atau bahkan sosial akan lebih terlihat ketika kepribadian manusia yang menerapkannya itu juga bagus. Kita lihat saja, walaupun misalnya sang pembawa risalah itu benar-benar seorang manusia suci, baik dan benar, tapi kalau memang masyarakatnya emoh untuk menerima ajakan atas sebuah agama, maka sudah pasti masyarakatnya tak akan menjadi lebih baik. Dari hal itu, bisa dikatakan mestilah ada timbal balik atau korelasi di antara agama dengan manusia. Tidak, kita tidak bisa hanya bergantung pada agama semata seolah-olah agama bisa menjamin segalanya-galanya.

Lagipula, persoalan agama tidaklah hanya mentok pada agama itu sendiri. Agama, sangat menekankan jalan atau metode mendekatkan diri, mengenal, dan mencintai Tuhan. Anehnya, orientasi atau fanatisme keagamaan justru mensubordinasi orientasi terhadap Tuhan sebagai suatu kepentingan utama dari segala-galanya.

Ditambah lagi, saya yakin bahwa agama mengajarkan kita untuk bersikap baik dan benar di hadapan Tuhan maupun di mata manusia. Ini dua hal yang integral. Dalam arti, jangan hanya patuh kepada norma-norma keagamaan saja namun tidak patuh pada norma-norma kenegaraan. Bukannya apa, soalnya kalau sikap kita seperti itu, hal demikian justru malah menimbulkan impresi tidak baik di mata umat agama lain. Sayangnya, seringkali kesan demikian juga berimplikasi pada agama yang dianut. Apalagi kalau penganutnya menonjolkan identitas keagamaan. Lagipula, umat beragama mana sih yang mau agamanya dipandang jelek di mata orang lain?

Pada pokoknya, agama jelas tidak mengajarkan fatalisme dimana manusia hanya pasif dan tidak menggunakan sisi-sisi kemanusiaannya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun