Barangkali kita memang belum ikhlas, belum rela kalau Tuhan mengapa-apakan kehidupan kita. Kita belum bisa menerima di saat Tuhan "mengambil-alih" kehidupan.
Di kondisi semacam ini, di saat musuh tak terlihat itu bisa menyerang siapa saja, kita menolak keadaan. Bahkan ternyata bukan cuma virus itu sendiri yang kita tolak atau tidak kita kehendaki. Kita juga menolak anjuran pemerintah, menolak untuk stay di rumah, menolak untuk tidak mudik, menolak tim medis, menolak jenazah korban Covid-19, menolak ini-itu dan lainnya.Â
Apa berani kita bilang: "Tuhan, kami benci takdirMu ini!"? Atau, apa setidaknya kita sudah berusaha membaca apa kemauan Tuhan atas terjadinya ini semua? Kalau mau dijawab, kita semua tahu jawabannya dan kita sepakat bahwa kita tidak menginginkan keadaan ini. Apa sampai harus membenci takdirNya? Itu soal hati setiap manusia.
Untungnya bertepatan dengan bulan Ramadan ini kita masih mau berpuasa. Yang artinya, kita masih belum marah kepada Tuhan. Atau karena kita tidak terlalu membawa-bawa takdir Tuhan, sehingga kita belum menuntut "pertanggungjawaban" Tuhan lantaran mungkin saja kita berpikir "Dia yang mengadakan, maka Dia juga yang harus melenyapkan virus ini"?Â
Atau karena pandemi ini tidak terlalu berdampak pada keimanan kita sehingga kita tidak membawa-bawa Tuhan, apalagi sampai mempersoalkanNya? Bukannya tak ada orang yang ketika berada dalam tekanan lantas berpengaruh terhadap keimanannya. Seperti misalnya dia mempertanyakan keberadaan Tuhan yang tidak datang untuk menolong.Â
Itu terjadi dalam film yang saya tonton kemarin malam. Judulnya "Machine Gun Preacher", yang berdasarkan kisah nyata. Atau dalam sebuah buku yang pernah saya baca yang juga bercerita tentang kisah nyata, yang saya lupa judulnya.
Atau keimanan kita belum terganggu lantaran keadaan belum sedemikian gawat? Bisa jadi karena kita belum banyak (semoga saja tidak terjadi) melihat orang yang kelaparan di mana-mana karena sudah tidak ada yang menolong, sudah tidak punya apa-apa, kehilangan rumah, keluarga, dan sebagainya.
Kalau diibaratkan, sebagai bangsa yang masih sibuk bekerja dan belum sukses seperti bangsa-bangsa di sana, kematian seolah-olah menunggu dari dua arah; depan dan belakang. Yang kita khawatirkan: mati kelaparan atau mati karena virus. Dan lockdown itu nyatanya cuma untuk bangsa-bangsa yang sudah siap.Â