Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kitab Suci Itu Nggak Suci-suci Banget

11 Juni 2019   17:20 Diperbarui: 11 Juni 2019   17:36 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nampaknya Saprol baru menyadari kalau doktrin yang mengajarkan untuk merendahkan orang lain itu memang ada.  Tapi entah, apakah memang dibuat dengan sengaja atau tak sengaja keluar dari pikiran manusia yang cenderung merendahkan.

Saprol terlalu sibuk bicara soal kesetaraan. Seolah-olah dia menafikan hierarki, perbedaan status sosial, atau perbedaan-perbedaan derajat di antara kita. Padahal kita memang berhadapan dengan hal-hal semacam itu. Padahal bukannya tak pernah kita meninggikan diri kita sendiri sebagaimana awan di atas sana, dan merendahkan orang lain seperti kotoran di bawah kaki kita. Siapa yang tak pernah begitu? Bahkan Kitab Suci pun menyinggung hal semacam itu. Kitab Suci menyinggung soal tinggi rendahnya derajat manusia. Harusnya Saprol sadar kalau Kitab Suci itu nggak suci-suci banget.

Atau barangkali Saprol terlalu tenggelam dalam pikirannya. Dia mengatakan manusia itu semuanya sama, setara, bagaimana pun rupanya. Kita tak boleh merendahkan yang ini dan meninggikan yang itu. Saprol berpikir demikian. Tapi sekali lagi, bahwa siapapun kita tak ada yang menafikan kalau manusia hina itu ada, begitu pun manusia mulia. Pada akhirnya segala perilaku seseorang mau tak mau akan membawa kita pada penilaian tinggi-rendahnya derajat seseorang atau mulia-tidaknya manusia tersebut. Tak mungkin kita tidak menilai demikian. Itu pasti. Tak mungkin kita tidak menilai sesuatu --asalkan penilaian itu bukan prasangka, dugaan, atau sesuatu yang memang belum tampak dan jelas terbukti.

Saya jadi heran dengan pikiran Saprol. Gimana mungkin dia terus bicara soal kesetaraan, tapi di sisi lain tinggi-rendahnya derajat manusia itu ada di depan mata? Seolah-olah dia menafikan realitas.

Apa yang dimaksud Saprol hanya soal kesetaraan hak-hak? Bahwa setiap manusia punya hak yang sama, begitu? Itu sudah pasti. Itu dalam sisi tertentu yang memang harus kita perhatikan. Tapi ada sisi lain yang lebih riil yang sebenarnya saling berkaitan.

Ada sesuatu yang mesti disetarakan, tapi ada juga yang tak bisa disetarakan, disamakan, bagaimanapun caranya. Bahkan Tuhan pun tidak menyamaratakan semua manusia. Ada yang derajatnya tinggi, ada yang rendah. Ada yang dihinakanNya, ada yang dimuliakanNya.

Mungkin Saprol tidak melihat kenyataan. Kita berurusan dengan sesuatu yang kontradiktif, tapi kita juga harus paham kalau kita tidak bisa menghilangkan salah satu di antaranya --terutama yang kita tak sukai. Kita tak bisa melenyapkan kemiskinan. Kita tak bisa melenyapkan kebodohan. Kita tak bisa melenyapkan ketidakadilan. Kita memang tak suka dengan yang semacam itu. 

Kita sama-sama tahu kalau pikiran dan perasaan kita mengatakan bahwa kita harus menghilangkan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kejahatan, penderitaan, dan lainnya. Tapi nyatanya kita harus menerima kalau itu semua memang benar-benar ada dan akan tetap ada entah sampai kapan --mungkin sampai kiamat. 

Dan sebenarnya kesetaraan yang kita impikan itu hanya sekedar visi atau hasrat yang sangat kecil kemungkinannya untuk benar-benar bisa terjadi secara absolut. Atau mungkin juga tidak akan pernah terjadi di dunia ini. Kalau pun terjadi, barangkali hanya sekilas, setelah itu muncul lagi. Menciptakan dunia yang sempurna tanpa keburukan dan kekurangan? Di sini, di dunia ini? Itu tidak mungkin, kecuali Tuhan menghendaki.

Tapi kita memang tak usah memikirkan soal kapan itu bisa terwujud. Karena kita hidup dan kita berhadapan dengan saat ini. Kita tidak berhadapan dengan nanti yang kita tak tahu itu bakal terjadi atau tidak sama sekali.

Saprol terlalu terikat pada keharusan-keharusan yang ada di kepalanya. Keharusan-keharusan yang berasal dari sebuah doktrin atau hasil pikirannya sendiri. Yang semacam itu seringkali menutupi mata kita dalam melihat kenyataan. Apalagi kalau pikiran itu sendiri sudah dianggap sebagai kenyataan. Nyatanya kita memang sering menganggap apa yang ada di pikiran kita sebagai kenyataan. Kita sangat berharap apa yang kita pikirkan itu segera terwujud. Kesetaraan, kedamaian, keadilan, dan lainnya.

Harusnya Saprol tahu, kalau dia terus berpikir seperti itu, dia nanti akan kecewa. Pasti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun