Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mau Benar Juga Ada Ilmunya

21 Mei 2018   10:39 Diperbarui: 21 Mei 2018   11:04 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari segala proses pencarian kognitif tadi, aspek-aspek internal diri manusia maupun hal-hal eksternal pada dirinya akan menentukan diri manusia. Proses yang panjang tadi sebenarnya sifatnya objektif karena pasti akan dialami oleh semua atau kebanyakan manusia. Tapi hal itu menjadi subjektif ketika sudah masuk pada ihwal keyakinan karena berkaitan dengan kebenaran. 

Walaupun sebenarnya kita pun tahu bahwa kebenaran itu objektif. Sesuatu yang objektif itu bisa menjadi subjektif karena tak lepas dari persepsi kita yang memang berbeda-beda. Tapi, hal itu tergantung kepada diri masing-masing apakah mau untuk bersikap objektif atau tidak; mau untuk membuka pikiran dan menerima hal-hal baru atau tidak. Karena objektifitas dan subjektifitas pun harus diimbangi.

Bukannya keterbukaan dan objektifitas ini sendiri adalah watak kehidupan? Maksudnya, dalam kehidupan ini terbuka berbagai macam kemungkinan-kemungkinan baru atau hal-hal baru. Kehidupan ini dinamis. Dan kita tahu kalau kita berada di dalamnya, di tengah-tengahnya. Kita terikut di dalam geraknya, tapi bukan berarti sekedar mengikuti sebagaimana hanyutnya sebatang kayu yang terapung di sungai yang berarus deras. Karena manusia bukan benda mati!

Secara antroposentris, manusia adalah subjek, yang melalui tangannya, dia ikut menentukan berbagai hal pada kehidupan --walaupun niat atau kehendak itu bukanlah murni berasal dari dirinya. Masalahnya, kehendak-kehendak pada diri manusia tidaklah sama. Ada yang baik, ada yang jahat, dan ada juga yang bersikap sebagaimana hanyutnya sebatang kayu tadi.

Nampaknya kita harus lebih sering lagi melihat diri kita dan mengoptimalkan daya pikir dan perasaan. Kita tahu bahwa dengan itu kita bisa melakukan hal hebat. Tapi bukan berarti melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Tuhan sebagaimana orang-orang tak tahu diri yang merasa hebat di sana itu. Kalau hanya bergantung pada sesuatu di luar diri tanpa kita mau berusaha mengoptimalkan diri kita, hal itu hanyalah omong kosong belaka. 

Hanya bergantung kepada Tuhan tanpa ada usaha pribadi, itu sama saja tak ada artinya. Kalau sudah begitu, ketergantungan itu pun menjalar kemana-mana. Contohnya, yang sebagaimana sering kita lihat, dimana orang hanya sibuk meminta, menuntut dan menunggu perubahan tanpa dia mau berkontribusi merubah sesuatu itu, apalagi untuk merubah dirinya sendiri terlebih dahulu.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun