Tapi kemudian si majikan berpikir kalau motor sport terbaru 250cc itu pasti akan memberikan prospek yang lebih baik dalam pementasan topeng monyet mereka. Jadi, tiket pementasan topeng monyet pun dinaikkan dari yang tadinya dua ribu rupiah menjadi seratus ribu rupiah. Maka jadilah mereka bertukar kendaraan. Si bos kemana-mana memakai sepeda imut milik Sarimin, sedangkan Sarimin sekarang pergi kemana-mana menggunakan motor sport 250cc yang sudah diganti knalpotnya dengan knalpot racing lengkap beserta pakaian dan helm balap yang dibeli juga dengan harga mahal.
"Why, Min? Why? What's wrong with you?"
"U-u a-ak, u-u a-ak, u-u a-ak," sambil memeragakan selayaknya orang sedang memakai dasi dan jas yang dipakai bos-bos atau anggota parlemen di sana itu.
"What are you talking about, Brother? Are you serious?" tanyaku meyakinkan karena masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya, sambil kududuk di sampingnya.
Kutunggu jawabannya, tapi Sarimin hanya diam. Aku pun diam. Nampaknya dia memang sudah tak mau lagi pergi ke pasar. Baiklah, aku pun tak mau memaksanya menjawab pertanyaanku. Khawatir kalau itu menyinggung perasaannya.
Aku berpikir, mungkin ini titik awal dari teori evolusi yang fenomenal itu. Itu lho, teori evolusinya si Erwin, Aswin atau siapa itu namanya? Aku lupa. Memang si Sarimin tidak langsung berubah jadi manusia. Perubahan semacam itu butuh proses yang sangat lama. Bahasanya masih tetap bahasa seekor ketek.Â
Tubuhnya masih sama sebagaimana tubuh nyemot. Tapi soal pikiran, disinilah inteligensinya mulai mengalami peningkatan, dimana sepertinya dia merasakan kebosanan pada dirinya sebagai seekor monyet yang selalu diperintah oleh bosnya. Kukira, ini memang titik awal dari teori evolusi itu.
Tapi mungkin saja dia sudah permisi ke bosnya untuk tidak berangkat ke pasar hari ini. Dan si bos, yang masih tertidur lelap dengan iler menggenang di sudut bibirnya pasti akan menjawab: "Terserahmu, Min. Yang penting kita masih harus cari duit! Itu tugas pokokmu. Itu kewajibanmu. Kau harus memberi nafkah padaku. Udah, pergi sana! Hoaaaam... Ganggu aja sih..."
Memang begitulah si majikan. Tak pernah memahami apa kehendak Sarimin. Sebaliknya, Sariminlah yang selalu menuruti kehendak bosnya. Disuruh jadi pembalap dia mau. Disuruh berguling-guling tak jelas arah, tujuan, makna dan filosofisnya pun dia mau. Itulah Sarimin. Pantas sajalah dia merasa bosan, karena sudah pernah mencoba berbagai profesi dari yang berskala nasional sampai internasional; dari yang tradisional sampai yang modern; dari yang rendahan sampai yang bergengsi tinggi.
Sedangkan si bos, kerjanya hanya bisa memerintah dan tak mau mencoba pekerjaan lain. Sifat perikebinatangan si bos memang lebih dominan. Sebaliknya, Sarimin justru lebih manusiawi, karena secara tak langsung, si bos yang berperikebinatangan itu sudah mengajarkan Sarimin untuk berperilaku lebih manusiawi.
"Alright, Min. Alright," kataku menenangkannya.