Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perang Kita, Perang Intelektual dan Perang Tingkat Tinggi

16 Februari 2018   21:40 Diperbarui: 16 Februari 2018   21:46 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: artpaintingartist.org

Tiap saat, dari zaman ke zaman, pasti selalu ada peperangan. Setidaknya kalau tidak berperang melawan orang lain, ya perang melawan hawa nafsu pribadi.

Tapi apa memang kita diniscayakan untuk berperang terhadap sesama ya? Saya tidak yakin. Tuhan tidak menciptakan kita untuk saling berperang --manusia lawan manusia-- melainkan memerangi hal-hal batiniah yang ada di dalam diri kita.

Manusia itu kan makhluk yang terlahir suci? Siapapun dia. Tapi, karena di dunia dia akan terpengaruh oleh berbagai hal di luar dirinya, di situlah kesuciannya memudar, terkotori. Bukan hanya sifat-sifat kemanusiaannya saja yang luntur, melainkan juga bersemayam sifa-sifat kesetanan dan kebinatangan. Kalau sudah begini, kita sebenarnya sudah tahu mana yang harus kita perangi. Jadi bukan manusianya yang kita perangi, melainkan kedua sifat tadi yang itu memengaruhi perilaku, pikiran, maupun jiwa manusia secara keseluruhan. Makanya di antara kita ada koruptor, LGBT, pencuri, pemerkosa dan lain sebagainya. Tapi itu bukan nama-nama profesi lho ya. Gawat nanti kalau dijadikan nama profesi.

Bukan manusianya yang harus dilenyapkan, melainkan sisi buruk pada dirinya. Kecuali kalau dia sudah tak bisa lagi diperingatkan dan malah memerangi kita yang hendak menolongnya, nah di sini barulah peperangan fisik itu terjadi.

Perang fisik itu pun adalah sesuatu yang paling rendah dalam derajat kemanusiaan. Saat ini, saya kira kita berada dalam peperangan intelektual. Peperangan ini peperangan tingkat tinggi yang apabila kita kalah, di situlah derajat kemanusiaan kita jatuh serendah-rendahnya, bahkan mungkin lenyap. Kalau kemanusiaan pada diri manusia hilang, maka tubuhnya saja yang berwujud manusia. Dalamnya bisa saja setan atau binatang. Di sini musuh menyerang tidak lagi melalui hal-hal yang menyakitkan, melainkan mengenakkan. 

Kita pun tak sadar kalau diri kita sudah tercerabut dari prinsip kita. Prinsip itu sendiri ibarat benteng. Tanpa prinsip, seorang manusia --bahkan suatu masyarakat/bangsa/umat-- cuma akan menjadi budak yang mau tak mau harus mengekor kesana-kemari. Karena perang ini berbentuk intelektual, maka cara untuk melawannya juga secara intelektual. Maksudnya, hal ini harus disadari dengan akal sehat. Korbannya adalah mereka yang tak menggunakan nalarnya, malas berpikir, dan emoh mencari ilmu. Orang berilmu atau yang berpendidikan saja bisa kok menjadi korbannya --kalau dia juga tak memiliki kesadaran itu.

Kalau harus membahas lebih dalam, ini tak lepas dari bagaimana kita mengenal hidup. Manusia dihidupkan bukan hanya sekedar menjalani hidupnya saja. Ada rintangan, musuh, yang selalu mengganggu orientasi hidup. Berorientasi pada apa? Jangan sampai lupa. Jangan sampai tak tahu. Kalau sudah lupa atau tak tahu, wah sudah gawat namanya.

Kalau agama menyebut musuh tersebut sebagai iblis atau setan, bagaimana kita akan menyadarinya kalau metode atau siasat si setan itu pun kita tak tahu? Atau mungkin si setan tadi sudah menjadi semacam tokoh fiktif. Ini susahnya kalau belum merasakan langsung bisikannya. Dia itu riil. Dia itu dekat dan terasa. Terus bagaimana kalau si setan-setan tadi semakin pintar? 

Mereka bukannya tak pernah memikirkan strategi-strategi baru dalam menjalankan misinya. Kitanya saja yang mandeg, macet menggunakan pikiran dan kesadaran kita. Kalau tak lagi bisa berpikir dan tak sadar, ya itu namanya mabuk. Jadi apa kita sadar kalau kita lagi mabuk? Ya, mabuk dalam kenikmatan sampai-sampai diri sendiri pun tak tahu kalau sedang tak sadar.

Dengan berpikirlah  kita bisa menyadari sesuatu. Menyadari hidup dan diri sendiri. Menyadari hakikatnya maupun apa-apa saja yang sedang terjadi. Tapi gimana kalau nalar kita pun dipendam? Gila! Ini nggak main-main kalau nalar kita sudah tumpul dan berkarat sehingga manusianya tak lagi berpikir.

Kalau indera dan raga sudah disuguhi kenikmatan, sudah pasti tak akan ada lagi rangsangan bagi kerja pikiran. Kalau pikiran tak lagi bekerja, sudah pasti hati tak akan hidup. Karena indera, akal pikiran, dan hati, itu merupakan tiga hal yang integral yang saling mempengaruhi, mau itu dari luar ke dalam atau dari dalam ke luar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun