Apa prinsip kita sebagai bangsa Indonesia? Apa prinsip kita sebagai seorang yang beragama? Apa kita masih tahu substansi dan esensi agama kita? Atau jangan-jangan agama hanya sekedar dianut berdasarkan tradisi keluarga dan identitas belaka? Atau jangan-jangan Pancasila hanya sekedar jadi sekedar bunyi-bunyian pelengkap pada upacara bendera saja?
Maka kalau seperti itu pemahaman kita terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan, saya yakin kalau kita memang sudah tercerabut dari dua aspek prinsipiil tadi. Ini persoalan asasi yang jelas akan berimplikasi pada perilaku kita, terutama dalam menghadapi zaman yang semakin transparan atau apa yang disebut dengan globalisasi.
Saya tak merasa heran kalau kita bisa seperti itu. Pada dasarnya seorang manusia atau sebuah bangsa memang harus mempunyai prinsip kalau memang dia tidak mau diombang-ambing kesana-kemari oleh pihak lain.
Sayangnya persoalan nilai-nilai ini pun sudah jarang ditemukan. Para orangtua mungkin sudah terlalu sibuk dengan karir, bisnis dan uangnya sehingga tak sempat mengajarkan nilai-nilai primordial semacam tadi dan lebih memilih menitipkan anaknya kepada sekolah yang nyatanya pun lebih mementingkan hapalan tentang pengetahuan umum. Begitu pun kampus-kampus yang lebih mengorientasikan kepada aspek-aspek keahlian dalam bidang-bidang profesional. Maka tak ada tempat untuk kita mengenal kembali persoalan baik-buruk dan benar-salah. Mungkin juga persoalan akhlak tak begitu penting lagi saat ini.
Parahnya, di saat yang bersamaan, globalisasi mengepung bangsa ini dari berbagai arah. Anda mau cari hal-hal baik, semua itu tersedia di genggaman. Anda mau cari yang buruk, Anda akan dapatkan juga di genggaman. Mau cari video mesum Hana Anisa atau video-video yang belakangan viral, juga ada linknya yang (kayaknya) masih bebas dan mudah diakses. Silahkan saja buka xvideos.com dan cari kata kuncinya kalau tak percaya. Tapi kalau masih belum diblokir lho ya.
Tak ada benteng pada diri kita ketika baik-buruknya dampak globalisasi masuk begitu saja tanpa filter. Tak usah repot-repot kalau mau membahas soal usaha filter yang seperti apa, karena sebenarnya hal itu sudah ada pada diri kita. Bangsa ini dan agama sudah menyediakannya. Itu sudah di depan mata kita semua dan tinggal kita pahami.
Dan kalau memang bangsa ini sudah pintar, sudah bijak dalam menyikapi baik-buruknya dampak globalisasi, saya yakin kita tak akan jadi bangsa beragama yang berperilaku seolah-olah tak beragama. Tapi kita memang masih jauh. Kita memang suka menyia-nyiakan apa yang sudah tersedia di depan hidung dan tinggal kita olah, kita pahami. Bukannya suatu yang main-main karena hal itu memang prinsip yang sangat kita butuhkan --kalau saja kita sadari.
Maka pertanyaan selanjutnya bagi bangsa ini adalah: masihkah kita menjadi bangsa Indonesia ketika kedua nilai-nilai tadi --juga nilai-nilai kultural-- tak lagi kita acuhkan? Sedangkan untuk saudara seagama, saya bertanya: masihkan kita menjadi umat Islam yang baik ketika pola hidup kita, paradigma kita sudah tidak lagi berdasarkan agama dan lebih cenderung, bahkan sangat cenderung kepada sesuatu yang menyalahi parameter-parameter agama? Saya sudah mengecek diri saya sendiri, tinggal sekarang kita cek diri masing-masing karena bukan urusan saya untuk mengecek apa yang ada pada diri rakyat Indonesia satu persatu. Saya tak punya hak untuk menilai seperti apa kualitas keagamaan dan kebangsaan masing-masing pribadi orang Indonesia. Walaupun begitu, dalam konstelasi yang sedang mengalami ketercerabutan ini, saya masih harus dan harus berpikiran positif.
Jadi, ini juga soal karakter. Dan ketika kita bicara soal karakter, maka ini juga soal ego. Dan ketika kita bicara soal ego, maka ini juga inheren dengan persoalan ideologis. Ideologi yang mana yang akan kita jadikan prinsip pada diri kita kalau asas-asas kebangsaan dan keagamaan tak pernah kita pahami? Rasanya malah saya makin bosan kalau harus menyebut-nyebut kata kebangsaan dan keagamaan, namun sayangnya saya tak menemukan lagi apa yang bisa dijadikan prinsip selain dari dua kata itu disamping prinsip-prinsip kultural.
Padahal dua aspek tadi saling berkaitan. Kita pun tak perlu mengadopsi mentah-mentah nilai-nilai atau norma-norma dari negara lain lantaran kita memiliki sesuatu yang khas dimana sayangnya kekhasan, keindonesiaan itu tidak kita sadari. Aneh, bahkan lucu rasanya kalau apa-apa yang kita lakukan harus mengekori apa-apa yang ada di luar sana. Akhirnya, kita memang tidak lagi meng-Indonesia.Â
Sampai-sampai bahasa pun bukan lagi bahasa Indonesia, karena kayaknya sudah banyak juga orang Indonesia yang ng-inggris atau ngamerika. Apalagi dengan pola atau gaya hidup. Jadi yang mana yang namanya orang Indonesia? Mungkin orang-orang di pedesaan sana. Tapi saya ragu, karena bahkan orang-orang perkotaan yang sekolah dan terpelajar pun bisa begitu tercerabut dari nilai-nilai prinsipiil-nya. Anehnya kok bukan hal-hal yang baik yang kita contoh dari orang-orang luar sana. Contohnya: kalau berhenti di lampu merah itu ya jangan melewati garis, gitu lho...