Bicara soal bunuh diri, mungkin masih banyak orang yang menganggap niatan bunuh diri itu muncul cuma karena permasalahan hidup eksternal saja. Padahal, sebenarnya bisa saja niatan bunuh diri tadi muncul persoalan intern-personal. Ya, personal. Artinya, hampir tidak ada kaitannya dengan permasalahan hidup yang dialami banyak orang.
Sekedar berbagi pengalaman, saya pun dulu pernah begitu terobsesi untuk bunuh diri. Saya rasa pun sampai saat ini saya tak berkeinginan hidup sampai tua, walaupun saya sadar kalau bunuh diri hanyalah suatu sikap kepengecutan.
Saya memang tidak mengalami permasalahan hidup yang berarti. Tapi memang niatan itu muncul lantaran kegelisahan pikiran yang memang sudah saya alami sejak dulu; tepatnya kelas 2 SMP. Saya masih ingat ketika waktu itu disuruh membuat pertanyaan oleh guru Bahasa Indonesia. Jadi saya tuliskan saja apa yang memang ada di pikiran saya. Saya tulis: kenapa aku hidup?
Secara deskriptif, pertanyaan tadi adalah pertanyaan tentang permasalahan eksistensial diri. Seperti: untuk apa aku hidup? Mau apa kita di dunia? Atau, kenapa aku bisa hidup?
Begitu lama pertanyaan tadi bersarang di kepala. Tak pernah terjawab, karena saya pun belum menyadari kalau jawabannya sebenarnya sudah ada di depan mata saya.
Kayak apa rasanya? Ya selayaknya orang yang berada dalam kegelapan dan mencari cahaya untuk keluar dari kegelapan tadi. Maka yang namanya stres atau depresi pun terjadi --walaupun saya tak pernah memperlihatkannya kepada orang lain.
Sampai kemudian saya menyadari kalau kegelisahan semacam itu adalah suatu kewajaran. Ya, manusia yang berpikir pasti akan mengalaminya, karena siapapun manusianya pasti berada dalam kondisi pencarian terhadap kepastian, kejelasan, walaupun kondisi ini tak pernah disadari olehnya.
Manusia yang sudah sadar dengan kondisi ini hanyalah orang-orang yang sudah menemukan apa yang dicarinya. Saya sendiri ketika membaca buku, kadang merasakan sendiri bagaimana pemikiran orang-orang yang sedang mencari, dan pemikiran orang yang sudah menemukan. Itu akan sangat jelas berbeda.
Manusia sudah pasti tidak akan terus menerus berada dalam kondisi --yang bagi saya sangatlah berat seperti tadi. Tuhan tidak akan  begitu teganya menciptakan makhluk yang gelisah tanpa dia  mengobati kegelisahan makhlukNya tersebut. Bagi saya, obatnya hanya ada pada Dia. Dia yang menciptakan kehidupan, maka Dia jugalah yang tahu jawabannya.Â
Di situlah kemudian yang saya lakukan adalah berusaha mendekatiNya dan memahami kembali apa yang sudah diturunkanNya, yaitu agama. Untuk bisa sampai kepada tahap yakin pun saya tidak hanya menganalisis agama yang saya anut saja, melainkan juga sedikit mengintip ajaran agama-agama lain. Karena, kalau agama memang diturunkan dari Sang Pencipta dan mengandung kebenaran, maka pasti kebenaran itu hanya ada pada satu agama.Â
Tapi, kalau saya tidak tahu seperti apa ajaran agama lain, bagaimana saya bisa meyakini kalau agama saya adalah agama yang saya yakini benar-benar mengandung kebenaran? Di sinilah salah satu manfaat mempelajari agama-agama lain, yaitu mencari kebenaran objektif, secara rasional-personal dan tanpa terikat oleh doktrin-doktrin.