Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sikap Kita, di Tengah Kesempatan dan Kesempitan

5 Oktober 2017   20:51 Diperbarui: 7 Oktober 2017   03:06 2393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pinterest.com/monaamayy

Tak ada seorang pun yang menentukan apakah kita akan menjadi bangsa yang seragam atau beragam dengan berbagai keunikannya masing-masing. Tak ada yang menentukan hal itu selain Tuhan, yaitu Sang Pencipta.

Kalau Indonesia ini menjadi sebuah ayat atau tanda dari sekian banyak tanda-tanda kemahakuasaanNya lantaran keberagaman kita, harusnya tak boleh ada yang marah sehingga kemudian menafikan hal itu. Mau marah pada siapa? Kalau seseorang memang begitu menafikan konstelasi keindonesiaan ini, berarti kekecewaan itu hanya tertuju pada Yang Maha Menentukan. Pertanyaannya: berani tidak? Tahu diri tidak?

Harusnya kita memang mesti banyak berpikir untuk bisa menerima sesuatu, terutama persoalan semacam itu. Apalagi kita ini masih berpegang erat pada aspek-aspek religiusitas. Oke, tak masalah kalau negara ini bukan negara agama. Yang penting, prinsip keagamaan tadi tetap kuat dan kokoh secara pribadi atau secara personal.

Artinya, perspektif partikularistis berupa nilai-nilai keagamaan tadi biarlah --dan sudah seharusnya-- menjadi urusan pribadi. Sedangkan pada perspektif yang lebih holistik --seperti aspek-aspek kebangsaan -- hal itu memang mesti bisa diterima keberagaman anasir-anasirnya.

Lagipula saya yakin kalau kualitas suatu bangsa tak terlepas dari kuatnya nilai-nilai religiusitas masyarakatnya. Kalau di antara kita masih banyak yang korupsi --apakah dia berjilbab atau tidak-- maka pasti ada implikasi dari kurang kuatnya prinsip-prinsip keagamaan tadi. Begitupun kalau pada sebagian orang-orang yang beridentitas agama masih belum bisa menerima keberagaman kita, maka ada implikasi kurangnya dia memahami ayat-ayat Tuhan karena hanya memaknai ayat-ayatNya pada sebatas substansi-substansi kitab suci. Hal-hal semacam itu jelas berdampak karena merupakan representasi personalitas manusia. Barangkali kita jarang menyadari hal ini.

Makanya dari permasalahan-permasalahan tadi, sikap kita pun tampak dari belum dewasanya kita untuk bisa menerima perbedaan.

Kalau mau dikasih contoh, dua orang yang berbeda agama, jika mereka bisa bersikap terbuka bertukar pikiran dan berbagi ide berdasarkan ajaran-ajaran agamanya, itu tentu lebih baik daripada dua orang seiman yang membahas agama tapi pada akhirnya berdebat, berselisih paham.

Tapi kita masih jauh dari sikap semacam itu. Agama terlalu sensitif untuk dibahas, apalagi untuk dipromosikan. Padahal agama ya mesti dipromosikan kepada semua orang, terlepas dari soal orang lain menerimanya atau tidak.

Kalau di luar negeri sana orang-orang Islam minoritas sedang gencar-gencarnya mempromosikan nilai-nilai keislaman yang ramah, yang cinta damai di tengah fenomena islamofobia, hal itu sangat berbeda dengan kita yang begitu tertutup dan mengunci rapat ajaran agama.

Mereka di luar negeri sana menghadapi tantangan dan diskriminasi yang secara tak langsung hal itu menjadi sebuah kesempatan besar untuk mempromosikan agama dan berusaha membuktikan bahwa ajaran agama tidaklah mengajarkan kebencian dan terorisme. Padahal kalau ditelaah lebih lanjut, para teroris itu juga sebenarnya banyak yang menyalahi aturan agama. Ambil satu kasus saja, dimana mereka (yang mengakunya beragama Islam) pun tak segan membunuh orang Islam dan membuat teror di beberapa negara berpenduduk Muslim. Padahal dalam sebuah hadits nabi, tindakan semacam itu jelas tak diperbolehkan.

Tapi saya yakin kalau paradigma stigmatik tadi pun sudah disadari kekeliruannya oleh sebagian orang. Tanpa ditelaah terlebih dahulu, kok bisa-bisanya langsung menstigma penganut agamanya secara keseluruhan. Padahal kalau mau digolongkan, sudah jelas-jelas mereka --para teroris yang membunuh kaum Muslim tadi-- tidak termasuk golongan umat Islam. Tidak cukup bisa dikatakan sebagai orang Islam kalau hanya menyatakan kalimat syahadat tapi di sisi lain melanggar ketentuan nabinya. Dalam sejarah Islam sendiri, ketika Abu Bakar Shiddiq ra. menjabat sebagai khalifah, beliau tak mentolerir sebagian masyarakat yang tidak mematuhi kewajiban zakat. Padahal di samping pernyataan syahadatain, Islam begitu menekankan tentang ketakwaan. Definisi takwa itu sendiri sangat luas, termasuk diantaranya yakni kepatuhan atau ketaatan terhadap Allah dan Rasulullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun