Do'a itu apa sih? Barangkali pertanyaan tadi harus kembali dimaknai nilai-nilai luhur dan kejujurannya.
Apakah orang akan sebegitu mudahnya mengharap dan mengatakan sesuatu kepada Sang Pencipta? Apakah seseorang akan begitu saja berkomunikasi dengan Tuhan walaupun do'a tadi sangat pretensial, berisi sindiran, berisi suatu kepura-puraan maupun ketidakjujuran? Atau, apa pantas kita melakukan itu kepadaNya sedangkan Dia tidaklah bisa kita bohongi, tidak bisa kita permainkan? Atau, apakah Sang Pencipta bisa budeg sebagaimana makhluk dan kita bisa berkata asal-asalan kepadaNya? Pertanyaan-pertanyaan tadi harusnya menjadi perenungan akan keluhuran dan kemurnian makna do'a.
Saya tidak mau berprasangka negatif sebagaimana orang lain yang begitu mudahnya berspekulasi dan menilai bahwasanya do'a Tifatul Sembiring yang bersubstansi tentang Jokowi gemuk itu sebagai sebuah sindiran. Terserah orang mau berspekulasi apa. Tapi saya tak mau ikut-ikutan.
Saya melihat sebuah do'a itu bukan hanya secara horisontal dimana orang banyak bisa mendengarnya, melainkan juga secara vertikal sebagai suatu komunikasi yang tidak main-main kepada Sang Pencipta --sebagaimana saya telah sebut sebelumnya. Saya selalu berusaha berpikiran positif bahwa Tifatul Sembiring bukannya tak mengetahui apa itu do'a, sehingga dia bisa mengatakan demikian. Lagipula kalau do'anya didasari atas  sebuah perhatian, seharusnya tak ada yang perlu dipermasalahkan. Presiden Jokowi memang kurus, dan saya kira siapapun boleh saja mendo'akannya supaya agak gemukan.
Tapi barangkali karena sudut pandang penilaian tersebut telah dilandasi atas sikap curiga, sentimen, atau hal-hal semacam itu, akhirnya yang keluar dari pendapat orang lain pun bernada negatif. Bahkan ketika sekilas saya browsing di Google, dampaknya sampai menyinggung ke persoalan umat beragama. Itu sesuatu yang kampungan, saya kira.
Tulisan ini sebenarnya hanya berusaha mengkritisi cara berpikir kita yang sudah sedemikian negatif, bahkan terhadap suatu do'a. Bayangkan saja, itu do'a didengar oleh berapa orang? Dan, do'a tadi pun tentu didengar Tuhan. Lalu, apakah Tifatul sedemikian berniat menyindir Jokowi, sedangkan mereka sama-sama saudara seiman?
Saya memang tak mau mengikutsertakan persoalan politik dan lain sebagainya. Do'a itu haruslah sesuatu yang murni dimana dia memanglah inheren dengan ihwal kemanusiaan. Do'a macam apa yang dikait-kaitkan dengan persoalan politik? Bisa tidak kita bayangkan kelucuannya kalau ada yang melakukan demikian? Dan kalau Tifatul mendoakan Jokowi berlandaskan atas sindiran, sedangkan mereka sama-sama seiman, lalu akan kayak apa akibatnya? Apa Tifatul tak tahu soal konsekuensinya?
Sekali lagi, ini merupakan ihwal kemanusiaan dan ketuhanan. Sekali-kali kita ini tak usah-lah banyak berspekulasi. Toh agama kan juga melarang itu? Kok suka banget sih kita ini melihat sesuatu berdasarkan kacamata-kacamata tertentu? Lepas dulu-lah kacamatanya dan lihat dengan mata maupun hati yang jernih. Apalagi kalau kacamata yang dipakai itu kacamata politik, pastinya hal-hal seperti itu jelas terelakkan. Akibatnya pun membesar; sentimental, apatis, dan lain sebagainya.
Tapi ini bukan sebuah apologi atau pembelaan lho ya. Saya juga tak kenal secara pribadi dengan seorang Tifatul Sembiring dan tak tahu banyak mengenai sosoknya. Saya hanya ingin belajar selalu berpikir positif dan menilai sesuatu berdasarkan universalitas kemanusiaan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H