Memang tak ada dalil tentang nasionalisme pada agama. Begitupun, juga belum ada terminologi nasionalisme tercantum pada substansi agama yang muncul pada awal abad ke-tujuh Masehi. Tapi barangkali juga bukan berarti tak ada sama sekali, lantaran implisit sifatnya dan diperlukan pemahaman mendalam untuk menemukan hikmah intrinsik.
Inilah masalahnya kalau perspektif hitam-putih digunakan yang berimplikasi pada polarisasi agama dengan ihwal kebangsaan. Seolah-olah sesuatu yang tidak berbau agama itu profan dan sama sekali terlepas dari relasinya terhadap agama, dan agama tidak boleh berurusan dengan hal-hal non-agama. Padahal hal itu justru sebaliknya, dimana agama mesti menjangkau persoalan-persoalan sekuler yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, termasuklah terhadap nasionalisme yang dipersepsikan sekuler tadi.
Utilitas agama sendiri sebenarnya sudah cukup jelas. Agama mengajarkan umatnya untuk menerapkan sikap cinta-kasih, peduli, menegakkan keadilan, berusaha mensejahterakan masyarakat dan menjaga keselarasan hidup sesama makhluk, dimanapun itu, termasuk di negara kita masing-masing.
Itu garis besar faedah agama. Dan secara nyata agama memang mengajarkan hal demikian. Begitu pun dengan makna nasionalisme, bukan sekedar urusan cinta tanah air dan memasang foto bendera dan menciuminya. Yang lebih krusial, ada pula yang menilai ungkapan mencium bendera itu sebagai sifat seorang musyrik. Hal demikian jelas hanya simbol dan ungkapan.Â
Kalau seseorang mencium bendera atau hormat kepadanya, maka itu sama dengan sikap mencintai tanah air, sekaligus juga menyadari bahwa negeri ini --dan anasir-anasirnya --memang diniscayakan Tuhan untuk kemudian kita atur atau kita urus. Analoginya sama ketika seseorang mencium foto kekasihnya atau anaknya. Jadi, agama memang mengajarkan penganutnya untuk mengurusi dan mencintai negeri, baik itu alamnya, masyarakatnya, kebaikannya atau keburukannya.
Kembali ke persoalan agama dan nasionalisme, bahwa memang agama tidak hanya mencakup nasionalisme saja. Tapi, apa yang akan kita jaga atau kita kasihi kalau bukan bangsa ini terlebih dahulu; kalau bukan negeri ini terlebih dahulu? Apa kita tega melihat negeri ini berantakan dan lebih mementingkan kepentingan di luar sana? Artinya, persoalan umat di sini dan di sana mestilah harus sama-sama diacuhkan, dipedulikan. Yang lebih dekat dulu, baru kemudian yang jauh. Dan agama itu melampaui jarak dan waktu, karena substansinya tidak lain adalah untuk universalitas kehidupan.
Paradigma yang mempolarisasikan antara urusan keagamaan dan kebangsaan itu cuma lantaran identitas atau kostum belaka. Padahal orientasinya tetap saja sama, yaitu soal kesejahteraan, kemaslahatan bersama, keadilan, kebaikan, kedamaian, dan nilai-nilai positif semacam itu.
Jadi, apa yang sebenarnya dipermasalahkan kalau orientasinya pun sama? Yang berbeda itu kan cuma caranya, metodenya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI