Tadi siang pada suatu tayangan televisi terdapat berita tentang seorang jamaah haji yang tak boleh berangkat karena didiagnosis mempunyai suatu penyakit. Dari situ pula saya bertanya-tanya: entah apa yang ada dipikiran mereka sampai harus membuat aturan kesehatan semacam itu bagi calon jemaah haji?
Lucu, ada orang mau naik haji, kok malah dilarang cuma karena punya penyakit. Kenapa? Kenapa dilarang? Apa karena khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan? Ya, kita tahu itu.
Memang pantas kalau kekhawatiran itu ada pada diri tiap orang. Tapi, ini soal ibadah. Ini soal niat dan kemampuan seseorang untuk ikhlas "menemui" Allah, memohon ampunan-Nya, dan mencari ridho-Nya. Makanya haji itu disyaratkan bagi orang yang mampu. Mampu apa? Mampu secara spiritual, secara finansial, dan lain sebagainya. Bahkan kalau pun ada seseorang yang tak mampu secara finansial, tapi kalau dia sudah merasa mampu berangkat haji, jalan kaki pun tak masalah.
Maka ini juga soal konsekuensi dan resiko. Seseorang yang sudah berniat dan merasa dipanggil oleh Tuhan, pasti sudah tahu dan tak ambil pusing dengan risiko yang paling riskan sekalipun. Dia mau punya penyakit jantung, mau punya kanker, bahkan orang yang sudah sekarat sekalipun kalau dia memang sudah mantap berniat beribadah haji, siapa pun tak usah melarang.
Lagian, yang namanya ibadah itu kan urusan personalitas seseorang dengan Tuhan. Ibadah itu transendental. Kalau seseorang beribadah, tak ada yang boleh menghalangi dia, bahkan tak ada batasan ruang dan waktu sekalipun. Kalau sudah niat, maka dia akan fokus lalu kemudian menuju pada puncak titik fokusnya, yaitu khusyuk.
Jadi, sebenarnya aturan kesehatan bagi para calon jemaah haji yang kemudian berakibat membatalkan kepergiannya ke tanah suci itu cuma sesuatu yang menghalang-halangi. Itu tak patut. Itu sudah urusan seseorang dengan Tuhan dan tak usah dipersulit, apalagi dihalang-halangi bahkan sampai dibatalkan.
Pulang dengan Selamat
Saya sering mencoba memaknai apa itu ibadah, termasuk ibadah haji, walaupun saya belum pernah pergi dari negeri ini. Ibadah haji itu semacam "pulangnya" seseorang ke rumah Allah. Haji itu semacam katarsis. Dalam ibadah haji, jemaahnya melakukan tradisi-tradisi keagamaan yang dilakukan Nabi Ibrahim, memaknai arti dari tiap rukunnya, sekaligus untuk "menemui" Allah di rumahnya. Haji itu juga semacam simbol zuhud. Makanya pakaian yang dipakai juga tidak ribet. Dan zuhud itu adalah mengorientasikan diri hanya kepada Allah, meninggalkan orientasi duniawi, mendekati-Nya, mematuhi-Nya, dan mencintai-Nya. Itu tadi makna taqwa. Dan tanpa takwa, seseorang tak akan bisa sampai pada level zuhud.
Tak usah khawatir. Kalaupun jemaah haji kita benar-benar berpulang kepada-Nya, lantas apa yang perlu kita khawatirkan pada mereka yang sedang intens memusatkan diri kepada Allah? Artinya, dalam kekhusyukan ibadah mereka dan mereka dipanggil Allah, di situ pula mereka akan pulang dengan selamat. InsyaAllah. Dan kalaupun mereka pulang ke Tanah Air dengan selamat, lantas apa pula yang kita permasalahkan? Mereka kembali ke Tanah Air atau tidak, itu kan sama saja? Muslim mana yang tak ingin saudaranya pulang dengan selamat?
Saya tahu, memang kekhawatiran tadi wajar bagi mereka yang membuat aturan kesehatan bagi pada calon jemaah haji. Masalahnya, karena kekhawatiran yang berlebihan itu pula mereka membuat aturan yang kemudian menghalang-halangi seseorang beribadah. Begitulah sifat yang menghalang-halangi tadi terdapat pada aturan semacam itu. Jadi bukan pihak yang membuat aturan itu yang saya katakan sebagai penghalangnya, melainkan aturannya. Sekali lagi, aturannya.
So... jangan buat aturan semacam itu lagi-lah. Orang mau beribadah kok dibatalin sih? Sudah niat lho mereka itu. Sudah mantap lho. Sudah tahu konsekuensinya. Jadi, biarlah mereka menuju ke rumah-Nya dan bermesraan dengan Tuhan...[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H