Tulisan berikut merupakan kelanjutan tulisan sebelumnya (Bilang Saja Kalau Peradaban Islam Tak Ada) dan deskripsi dari inti yang barangkali terlanjur disalahpersepsikan oleh mereka yang membaca tulisan awal, makanya saya menambahkan keterangan (2) pada judul . Mungkin pembaca menganggap tulisan pertama itu bersubstansikan tentang sikap antipati atau semacam "balas dendam" terhadap Barat lantaran inferioritas terhadap orang Islam. Padahal tidak demikian maksudnya.
Oh ya, satu lagi, kalau tulisan ini pun sebenarnya adalah sebuah kritik dari kekeliruan cara memandang yang kemudian berimplikasi pada kekeliruan dalam menilai.
Yang namanya peradaban global saat ini memang berkiblat pada Barat; apakah itu teknologi, budaya, life-syle, perilaku, dan lain sebagainya. Artinya, paling tidak kita mengambil nilai-nilai baiknya dari mereka dan membuang apa yang tidak baik bagi kita. Termasuk Indonesia pun berorientasi pada mereka dalam upaya modernisasinya, walaupun saya masih yakin kalau upaya tadi tidaklah diadopsi secara mentah-mentah.
Masalahnya, kalau memang kita ingin bicara soal peradaban, kemanusiaan, maupun nilai-nilai universal dan plural semacam itu, lebih baik buang jauh-jauh cara memandang berdasarkan apa agamanya. Akhirnya, dari cara memandang tadi, peradaban Islam dimaknai sebagai "sesuatu yang lain" yang seolah-olah tidak termasuk dalam ramainya peradaban Barat dan global. Padahal kalau melihat konstelasi saat ini, berapa banyak orang-orang Islam (yang tadinya diasosiasikan hanya pada Timur) Â yang tinggal dan belajar di negara-negara Barat? Maka anggap sajalah fenomena tadi merupakan suatu usaha untuk menguniversalkan nilai-nilai keislaman ke dalam aspek-aspek global (termasuk Barat, tentunya) sehingga peradaban Islam membaur, tak ada lagi perbedaan "sesuatu yang lain".
Lihat saja bagaimana yang ditimbulkan kalau kita memandang sesuatu berdasarkan kacamata agama. Penilaiannya pun menjadi subordinatif. Seringkali seseorang yang beragama tertentu, cenderung akan menilai salah, buruk terhadap pihak-pihak atau agama yang berbeda dengan diri dan keyakinannya. Artinya, hal demikian tidak lagi obyektif. Cara memandang yang begini ini yang diikutsertakan dalam menilai keuniversalan tadi; kemanusiaan, peradaban, dan lain sebagainya.
Sebenarnya cara pandang seperti tadi tidak hanya ditujukan kepada satu pihak semata, melainkan juga kepada seluruh manusia yang memakai kacamata hitam putih.
Jadi, apa yang saya ingin katakan adalah: kalau memang cara memandang kita sudah universal dan tidak parsial, maka peradaban Islam pun tak akan ada lagi; tak akan terjadi polarisasi, diferensiasi atau pembeda-pembedaan semacam itu. Islam juga adalah Barat dan bagian dari kesatuan dunia. Islam tidak seharusnya lagi dilekatkan hanya sebagai agama Timur atau Arab.
Cara memandang berdasarkan "apa agamamu?" adalah cara pandang yang kekanak-kanakan. Akibatnya, seseorang tak lagi memandang orang lain berdasarkan entitas manusianya, melainkan berdasarkan identitas, ideologi, pemahaman, status sosial, dan bukan berdasarkan universalitas dan pluralitas kemanusiaan.
Makanya saya heran. Lha, katanya globalisasi? Tapi kok cara memandangnya masih partikularistis dan tak universal? Katanya plural, tapi kok yang beda masih dibedakan, dilainkan, dialienasi, diasingkan, dan tidak dianggap sebagai satu kesatuan? Bukannya saat ini kita berprinsip pada hal tadi? Â Dan pihak-pihak yang berprinsip pada globalisasi, harusnya memegang secara benar asas-asas tersebut. Lembaga-lembaga dunia pun harus bersikap obyektif dan tidak membela suatu pihak berdasarkan kepentingan bisnis, kekerabatan, ras, bangsa, atau hal-hal semacam itu.
Akhirnya, saya harus katakan kalau cara pandang semacam itu sudah tak zaman lagi saat ini...[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H