Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Humanisme Itu Bebasnya Manusia dalam Batas-batas

17 Juli 2017   07:48 Diperbarui: 17 Juli 2017   08:09 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: fit-recovery.com

Mempersoalkan ada-tidak adanya kebebasan pada diri kita adalah sesuatu yang sudah ketinggalan zaman dan membuang-buang waktu. Kita bebas, kita bisa memilih mana yang akan kita lakukan. Tak usah dipersoalkan atau dinafikan, karena itu memang terjadi.

Humanisme, pada hakikatnya melihat kehidupan dari sudut pandang seperti tadi, yaitu antroposentris, dimana manusia memiliki kehendak dan kebebasan. Humanisme ini sebenarnya adalah antitesis dari fatalisme, dimana seseorang bersikap hanya berdiam diri tidak menggunakan sisi-sisi kemanusiaannya dan sangat berharap takdir akan membawanya pada suatu perubahan tanpa dia melakukan usaha apapun.

Tuhan memang menanamkan (perasaan) kebebasan itu pada diri kita. Dan agama, sebenarnya adalah parameter marginal supaya kita tidak kebablasan dalam menggunakan hak-hak bebas kemanusiaan kita.

Lucu rasanya kalau kita berpikir  Tuhan menghendaki tanggungjawab akan kebebasan pada diri kita, tapi Dia sendiri malah melarang kebebasan kita. Itu absurd, dan Tuhan tidak berkehendak demikian. Artinya, Tuhan tidak berkehendak untuk mengekang kebebasan kita, apalagi dalam soal kebebasan berpikir.

Agama memang mutlak dipatuhi. Tapi bagi sebagian orang mungkin kepatuhan terhadap agama dianggap sebagai pengekangan bagi kebebasan diri. Bagi orang-orang yang memahami doktrin agama secara literal dan harfiah, sikap semacam itu pun kadang sampai mengorbankan aspek-aspek humanisme pada diri mereka sendiri --walaupun mereka rela, tak keberatan-- yang berujung pada paham fundamentalisme (atau saya lebih suka menyebutnya 'konservatisme surealistik'). Atau, ada pula orang yang menilai bahwa agama itu hanya mengekang kebebasan. Kalau seperti itu penilaiannya, berarti orang tersebut memang tak memahami agama sebagai parameter marginal. Doktrin agama sebenarnya sangat menekankan kebabasan di dalam batas-batas. Lagipula, Tuhan tidak mungkin membatasi kebebasan kita dengan tanpa maksud, melainkan pasti untuk kebaikan kita juga. Tuhan mustahil tidak memberikan yang terbaik bagi kita.

Kalau pun kita mau lebih memahami kehidupan, sebenarnya yang dinamakan kebebasan mutlak itu tak ada di dunia ini.  Dunia ini berisi kerancuan nilai-nilai, makanya harus ditentukan mana batasannya supaya kita tidak memijak tanah terlarang yang berisi ranjau-ranjau yang akan mencelakakan atau memperburuk kita.

Nyatanya, pada agama pun terdapat larangan bersikap fatalistik. Kalau mau berubah, manusia ya harus melakukan sesuatu. Agama memang mengajarkan manusia untuk bersikap humanistis. Itu logis dan mesti. Buat apa Tuhan mengaruniakan kebebasan pada kita? Agama itu adalah ajaran yang visioner. Agama adalah jalan untuk menuju pada tujuan yang sejati. Tapi bagaimana kita akan melalui jalan itu, Tuhan memberi kebebasan pada kita. Siapa yang mau merangkak, ya silahkan. Siapa yang mau berlari, ngesot, jalan santai, naik motor, naik unta, naik pesawat jet, berguling-guling atau sambil jalan jongkok, itu ya terserah-terserah kita sendiri. Yang penting tujuan, visi dan misinya sudah jelas dan jangan coba-coba menyimpang dari itu. Apalagi kalau tak tahu konsekuensinya.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun