Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Agama Bisa Bikin Bosan?

9 Juli 2017   07:22 Diperbarui: 9 Juli 2017   07:32 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.spinedu.com

Pernah gak teman-teman sekalian menemukan suatu kebosanan dalam beragama? Aku sendiri menemukan itu ketika seorang teman yang beragama lain mengakui kebosanannya mengikuti ritual-ritual keagamaan yang dianutnya. Kenapa? Aku tak mau menanyakan itu ke dia. Takut bikin sakit hati, soalnya.

Aku heran, kenapa agama bisa buat orang jadi bosan? Tapi dari pertanyaan itu juga aku jadi sadar kalau agama mesti memiliki suatu unsur penarik. Lha, kalau agama tidak menarik, bagaimana penganutnya mau mendalami secara komprehensif? Nyatanya, inilah yang terjadi dan dirasakan oleh teman saya tadi. Saya sih tak mau menarik konklusi apapun. Tapi, barangkali kalau suatu agama memang begitu mudahnya ditinggalkan oleh penganutnya yang mengalami kebosanan terhadap agama, penilaian terhadap agama tersebut pun tak akan terelakkan. Artinya, bahwa pada agama pasti terdapat unsur penarik yang kita tidak sadari tadi. Bagaimana bentuknya? Saya tidak tahu, tapi saya yakin kalau itu ada. Sama seperti kita membaca buku atau film, dimana ada yang menarik atau ada yang membuat kita meninggalkannya begitu saja.

Memang, pasti akan ada suatu kekontrasan antara satu agama dengan agama kalau kita melakukan perbandingan. Tapi, saya cuma bilang: kalau memang bosan beragama atau pingin keluar dari suatu agama, ya mendingan didalami dulu agama itu. Masalahnya, seringkali kita terlalu cepat bersikap sebelum mengenali atau mendalami sesuatu, termasuk agama tadi.

Padahal agama itu juga identik dengan kebenaran. Kebenaran itu pun harus diferivikasi, dianalisis, apakah substansinya benar dan mengandung kebenaran. Barangkali ini yang kurang kira dalami. Atau mungkin juga sebenarnya kita tidak mengorientasikan diri pada pencarian hakikat kebenaran tadi. Mungkin kita anggap agama hanya sebagai identitas sosial yang menjadi suatu keharusan. Apalagi yang namanya agama hampir diasosiasikan sebagai tradisi dalam keluarga.  Agama ditanamkan, tapi persoalan tentang kebenaran tak pernah disebut-sebut. Hanya sekedar ditanamkan saja.

Ya, memang soal pencarian kebenaran itu personal sifatnya. Itu hak setiap pribadi. Mungkin seseorang tak menemukan kebenaran pada agama keluarganya, maka tak boleh ada yang melarang ketika dia merasa menemukan kebenaran itu pada agama lain.

Makanya ini juga terkait dengan hak asasi manusia, lantaran kebenaran itu memang asas bagi kita dimana kita memang mesti berprinsip padanya. Seseorang yang berpikir pasti akan mencari kebenaran karena memang itu dibutuhkan. Bahkan seorang ateis yang tidak merasakan kehadiran Tuhan pun pasti akan mencari-carinya walaupun konsekuensinya mereka tidak akan menemukan apa yang mereka cari. Kebenaran itu hanya ada pada Tuhan, yakni Sang Pencipta. Tanpa berprinsip padanya, kebenaran tak akan pernah diperoleh. Kebenaran adalah sebuah konklusi utama.

Dan tanpa jalan yang benar kepada Tuhan (juga kebenaran), maka yang didapat pun pasti bukanlah kebenaran. Bagaimana bisa kita menemukan kebenaran kalau jalan yang kita tapaki juga salah?[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun