Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berlebaran di Bulan Ramadan

26 Mei 2017   23:35 Diperbarui: 27 Mei 2017   12:16 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.avepress.com"][/caption]

Memang tak terasa tiba-tiba sudah masuk waktu lebaran. Ya, tepatnya lebaran di bulan Ramadhan. Lho, kok bisa?

Sebelumnya mungkin saya harus katakan bahwa ini pengalaman subjektif saya selama melakukan puasa sunah. Dan kalau harus mengungkapkan apa yang saya rasakan selama setahun belakangan ini melakukannya, dari hal itu saya justru merasa sedang berlebaran. Dalam arti, pada masa-masa puasa itu saya jadi terbebas dari persoalan-persoalan psikis, seperti belajar mengontrol emosi, sikap rakus, sikap tahu diri, dan lain sebagainya. Jadi bisa dikatakan kalau dampak puasa itu memang bukan hanya soal haus-lapar saja, tapi secara batiniah dan mental pun tentu ada dampaknya. Dengan kata lain, bahwa persoalan puasa itu tidak hanya urusan ragawi semata, namun juga inheren dengan persoalan metafisik pada diri kita.

Itu baru puasa sunah. Puasa sunah yang saya lakukan pun sebatas puasa dua hari sekali; satu hari puasa, satu hari tidak, satu hari puasa, satu hari tidak, dan seterusnya. Lalu bagaimana dengan puasa di bulan Ramadhan sebuah penuh? Di bulan Ramadhan itulah suatu kemenangan yang ditunggu-tunggu bagi orang yang senang berpuasa sunah, lantaran di bulan tersebut dia akan merdeka dan menang dari hawa nafsu. Jadi masuk akal kenapa dikatakan bahwa pada bulan itu setan pada dibelenggu. Sedangkan teman saya masih bingung, "kalau setan dibelenggu pada bulan Ramadhan, kok masih ada yang berbohong, korupsi, dan lain sebagainya?" begitu katanya. Jadi, memang belenggu setan pada orang yang terbiasa puasa sunah dengan orang yang hanya berpuasa pada bulan Ramadhan memang beda. Dalam arti, orang yang sudah terbiasa puasa sunah akan lebih bisa merasakan keterbelengguan setan karena dia sudah mengalami beratnya diganggu setan di luar bulan Ramadhan.

Di sisi lain, ketika telah lewat bulan Ramadhan dan memasuki lebaran, justru setan-setan tadi kembali mengganggu. Maklum, pada masa ini orang-orang akan merasa perlu untuk balas dendam dan makan sepuas-puasnya. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi orang yang biasa puasa, lantaran pada masa setelah lebaran inilah dia justru merasa harus berjuang kembali menahan godaan-godaan itu dan berusaha untuk menang tanpa peduli kapan kemenangan itu akan diperolehnya. Tak ada kata istirahat dalam mengontrol buasnya hawa nafsu dan liarnya emosi. Itulah peperangan terbesar di dunia, yaitu peperangan menguasai keliaran diri sendiri.

Tuhan memang tidak mendzalimi manusia. Dia melarang begini dan menyuruh begitu, hal demikian tak lain untuk kebaikan kita juga. Tidak ada yang dirugikan, seandainya kita memang memahami hakikat dibalik perintah-perintahNya yang seringkali kita tak tahu kenapa Dia menyuruh dan melarang kita melakukan sesuatu. Tapi, seandainya kita mau sungguh-sungguh mematuhi Dia, maka Dia pun akan memberitahukan kepada kita makna apa, kebaikan apa di balik semua itu. Memang, sedikit sekali kita mengetahui. Apa yang kita tahu sebenarnya bukanlah apa yang kita tahu. Tapi, ketika belum tahu pun kita merasa sudah tahu. Contohnya seperti tadi, dimana kita tak tahu hikmah dibalik puasa, tapi kita sudah mengatakan bahwa puasa itu hanya urusan menyiksa diri dengan haus dan laparnya. Padahal haus dan lapar itu bukan tujuan dari puasa. Kita berpuasa bukan untuk haus dan lapar. Dengan kata lain, hal itu merupakan efek terakhir yang sebenarnya tidak terlalu dipermasalahkan bagi orang-orang yang sudah terbiasa puasa. Karena sebagaimana raga adalah hierarki terakhir dari ciptaan Tuhan, begitupun halnya dengan persoalan-persoalan ragawi seperti tadi.

Lagipula, puasa memang salah satu bagian dari aspek mistisisme, yaitu suatu laku spiritual dalam mendekatkan diri dan mematuhi Tuhan. Jadi, bisa dikatakan orang-orang yang biasa puasa itu tidak lagi berpuasa karena kehendak mereka sendiri, melainkan menuruti kehendak Tuhan. Coba saja tanyakan kepada orang-orang yang hanya puasa di bulan Ramadhan, dan suruh mereka berkata jujur. Tanyakan apakah mereka tulus ikhlas menjalankan puasa. Atau, tanyakan apa mereka berpuasa cuma karena kewajiban agama. Tidak, seorang yang bisa menangkap kehendak Tuhan, tidak perlu menunggu-nunggu datangnya bulan Ramadhan. Ketika Tuhan ingin dia berpuasa, maka dia akan puasa. Jadi, puasa baginya bukan lagi suatu paksaan dari Tuhan lantaran, dalam laku mistisisme, seseorang dimestikan untuk dapat mengontrol hawa nafsunya dan membersihkan dirinya. Maka, kalau seseorang sudah senantiasa intens membersihkan diri dari kehendak-kehendak pribadi (hawa nafsu), pada saat itulah kebersihan jiwa dapat menerima kehendak Tuhan. Karena saya rasa kita pun tahu bahwa disebabkan kekotoranlah kesucian itu jadi terhalangi.

Di lain hal, saya kira persoalan personal tadi pun tak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks sosial. Di sini saya ingin mengatakan, ketika kita sedang puasa, mestinya kita juga tak usah terlalu cerewet mempersoalkan kegiatan-kegiatan saudara-saudara kita yang tak berpuasa. Kita bukan anak kecil yang minta dimanja. Dan saya kira, saudara-saudara yang tak berpuasa pun bukannya seperti anak kecil yang suka mengolok-olok orang yang sedang puasa. Makanya ini juga soal kedewasaan kita. Ini soal sikap tahu diri kita. Karena saya juga tiap hari berada di warung makan dan melayani pelanggan. Saya yang bantu menyiapkan pesanan mereka, dan saya pula yang mengantarkan makanan itu ke meja. Saya lakukan itu saat puasa sunah. Tapi nyatanya, saya tidak merasa terganggu dengan makanan di depan mata saya. Saya tak merasa terganggu melihat acara-acara masak di tivi. Saya tak merasa terganggu menyaksikan orang lain sedang makan di depan saya. Dan saya pun tak patut untuk mengatakan pada mereka bahwa saya sedang puasa. Sekali lagi, puasa  bukan hanya persoalan menderita karena haus dan lapar. Puasa itu justru lebaran; suatu kemenangan dan berusaha selalu menang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun