Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mempertanyakan Surga

3 Maret 2017   16:22 Diperbarui: 3 Maret 2017   16:44 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | www.hidayatullah.com

Manusia memang diciptakan punya sifat "gak sabaran". Maunya hidup di dunia yang baik tanpa keburukan; dunia yang tenang, damai, dlsbnya. Padahal kalau saja mereka mau sedikit bersabar dan patuh, sebenarnya keinginan mereka yang mereka kira utopis itu bisa terwujud dan benar-benar jadi nyata. Masalahnya, hal-hal demikian tidak akan terjadi di sini, di dunia ini.

Saya lalu berpikir, pantaslah kalau Tuhan menyuruh kita untuk bersabar. Sabar dalam arti yang luas tentunya; sabar emosional, sabar intelektual (seperti yang tadi disebutkan), maupun yang menyangkut kesabaran manusiawi lainnya. Dan saya kira Tuhan menyuruh kita sabar bukan hanya kepada orang-orang beriman, tapi juga kepada semua orang.

Lagian, kalau bicara perihal kehidupan utopis, saya tentu juga pingin hidup tanpa kriminalitas, tanpa kemiskinan, maupun hidup abadi tanpa pernah mati. Siapa yang tak pingin hidup di tempat yang seperti itu? Apalagi kalau bisa kawin dengan bidadari yang tak pernah hilang keperawanan dan tetap awet muda, saya jelas pingin, cuy!

Dari hal itu juga saya akhirnya sadar bahwa sebenarnya surga itu sudah ada di kepala setiap manusia, bahkan di kepala orang-orang yang tak beriman dan tak mengakui kehadiran Tuhan. Di sisi lain, saya pun yakin bahwa Tuhan pasti paham dengan apa mau kita yang memang menginginkan hal-hal (utopis) semacam itu. Kalau ada yang tak percaya bahwa kita akan hidup di sana nanti, yang pasti kepercayaan dan keyakinan tersebut adalah pilihan setiap orang. Tapi saya yakin bahwa Tuhan tidak akan berbohong sebagaimana kita dan setan yang doyan bohongin orang lain. Dia Maha Benar dan tak akan ingkar janji, itu sudah pasti.

Di lain hal, kalau saja kita sadari, bahwa ternyata apa yang ada pada agama dan anasir-anasirnya itu bagaikan sebuah informasi bagi kita. Termasuk surga tadi yang secara tidak langsung menjadi jawaban dari Tuhan atas pertanyaan intelektual "apakah ada kehidupan utopis yang tidak memiliki keburukan seperti di dunia ini?"

Yang jelas, kepastian tentang kebenarannya akan dibuktikan nanti. Mau percaya, ya silahkan; Tidak percaya, juga tak ada yang memaksa untuk percaya. Soal keyakinan, saya rasa hal ini tak bisa diganggu. Lagian meyakinkan orang itu capeknya setengah mati. Apalagi kalau orang tersebut sudah yakin sepenuh mati, eh sepenuh hati, maksudnya.

Lagian saya yakin bahwa apapun ketetapan dan norma-norma ketuhanan, pasti tidak akan merugikan bagi kita. Siapa lagi yang akan merugikan kita kalau bukan diri kita sendiri? Kalau Tuhan mau memberikan yang terbaik kepada kita, lalu kebaikanNya tidak kita indahkan, apa tetangga sebelah rumah kita yang cerewet itu yang rugi?

Begitupun dengan konteks eskatololgi-eskatologi seperti surga atau neraka, mungkin kita kurang mau memahami apa utilitas di balik adanya surga dan neraka. Apa anasir keimanan itu hanya sekedar kita percayai tanpa kita pikirkan? Saya jadi bertanya, apa ada orang-orang (ahli agama dlsbnya) di zaman intelektual saat ini yang melarang-larang seseorang untuk memikirkan persoalan keimanan? Apa kita hanya cukup bersandar pada iman sambil sudah merasa diri ini sudah aman dan sudah pasti akan masuk surga? Apa iya? Ah, yang beneeeerr? Sudah yakin belum?

Kenapa sih harus ada surga? Saya rasa tak apa-apa jika seseorang mempertanyakan demikian. Tak usah takutlah dicap sebagai orang tak beriman atau seorang murtad. Saya yakin kok kalau kita mau berpikir dan mendalaminya lebih komprehensif, pasti seseorang akan semakin mantap meyakini unsur-unsur keimanan tadi. Saya berani bilang begini karena saya pun telah mendobrak paradigma seperti itu; yaitu mempertanyakan unsur-unsur keimanan tadi. Dan saya rasa, oleh karena hal demikian juga makna keyakinan itu bisa dimaknai sebagai keyakinan buta (dogmatis) atau yakin secara rasional. Ditambah lagi mempertanyakan sesuatu kan boleh-boleh saja. Kalau meragukan? Juga tak salah. Bukannya yang namanya orang ragu itu tidak lain hanya ingin meyakini sesuatu sehingga keraguan itu hilang. Kecuali, kalau ada orang yang sudah yakin terus meragukan, lha kalau terus-terusan skeptis, kapan selesainya? Saya kira mempertanyakan (atau bahkan meragukan) suatu hal itu ada baiknya, asalkan tahu mana batas-batas yang tidak boleh untuk diragukan. Termasuk keyakinan yang sudah dipertanyakan itu tadi, tentunya.

Lagian, saya khawatir, kalau-kalau kita tak mau berpikir dan hanya bersikap sekedar mengimani, jangan-jangan orang-orang beragama (dan beriman) bisa kalah dengan mereka; orang-orang yang terus berpikir dan mencari muara arus intelektual yang berliku-liku. Pantaslah kalau aktivitas berpikir itu bikin pusing. Tapi yang jelas, setelah kita menemukan muaranya, nah di situlah bagian yang paling asyiknya. Soalnya kita tinggal nyelam aja...[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun