Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salahuddin Al Ayyubi, Aktualitas Politik dan Keagamaan Negeri Ini

22 Februari 2017   20:34 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salahuddin | sumber gambar: hamka-media.blogspot.co.id

Salahuddin memang bukan pemimpin Yerusalem, tapi kita bisa saksikan bagaimana dia melampaui kepemimpinan Baldwin IV saat itu. Ini jadi semacam analogi bahwa sebenarnya yang memimpin di atas pemimpin, tidak lain adalah rakyat. Pokoknya, selama pemimpin (siapapun dia, apapun keyakinannya) itu berperilaku baik dan tak melanggar batas (prameter), harusnya rakyat tak perlu khawatir. 

Saya pun beerkata begini bukannya tak menyadari ketidakberesan pada diri saya. Tapi bagaimana menjadi manusia yang baik di mata manusia maupun di hadapan Tuhan, tentunya ini menjadi usaha yang mesti dilakukan selama manusia hidup di dunia. Saya bukannya tak ingin jadi pemimpin. Tapi kalau tidak diperkenankan Tuhan untuk memimpin suatu bangsa, setidaknya sanggup memimpin diri sendiri dulu-lah.

Lagin, kita pun tahu kalau Rasulullah saw tidak berperilaku sewenang-wenang terhadap orang-orang Yahudi,tentunya selama mereka tidak berbuat macem-macem duluan. Tapi sayangnya, kok malah sikap intoleran tersebut bisa terjadi di negeri ini, ya? Aneh. Dan yang lebih parahnya, segala kritik maupun saran pun tak didengar. Susah kalau orang sudah merasa benar sendiri. Bagi saya, orang-orang yang begitu itu justru adalah orang yang paling keliru. Lihat saja Rasulullah, beliau tetap menerima kritik dan terbuka  terhadap saran dari umatnya, masyarakatnya, kok...

Nyatanya, sikap seseorang di mata manusia dan di hadapan Tuhan bukanlah merupakan keterpisahan. Tapi memang ada saja orang yang cenderung mengabaikan salah satu di antaranya.

Tapi pokoknya, persoalan manusia terhadap agama, terhadap Tuhan, tentu itu urusan pribadi semata. Apalagi kalau orang itu berbeda keyakinan, saya tentu tak ikut campur dan tak pantas mencampurinya. Lagian, kalau kita bicara soal kemajuan, kebaikan, perbaikan sosial dlsbnya, bukannya hal itu tetap sama di mata kita? Umat beragama maunya kebaikan yang bagaimana sih bagi masyarakat? Dan umat profan, juga maunya baik yang bagaimana bagi negeri ini? Cobalah ditanyakan. Kalau memang ada perbedaan, saya kira itu tak terlepas dari keyakinan personal. Tapi kalau kita bicara dalam konteks kemanusiaan, saya kira apa yang kita kehendaki pasti tak jauh berbeda. Yang beda itu kan kalau kita bicara dalam konteks ketuhanan, keyakinan?[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun