Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Catatan, Pendidikan dan Sekolah

31 Januari 2018   21:57 Diperbarui: 31 Januari 2018   22:19 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan telah menjadi keniscayaan bagi masyarakat. Atau mungkin lebih tepatnya adalah pendidikan telah dijadikan sebagai keniscayaan bagi masyarakat. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah sekolah atau bersekolah. Tapi, bukan pendidikan dalam arti yang luas. Semakin ke sini, makna pendidikan rasanya semakin sempit. Salah satu bukti bahwa pendidikan telah direduksi dalam arti yang sempit adalah masyarakat, pada umumnya, menganggap tanggung jawab pendidikan ada pada guru di sekolah.

Berbagai jawaban yang mungkin menjadi alasan mengapa orang harus bersekolah - mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Barangkali sebagian akan menjawab untuk menjadikannya pribadi yang lebih baik, menimba ilmu/pengetahuan. Ini biasanya jawaban anak sekolah tingkat dasar. Ada juga yang akan memberi alasan seperti menaikkan status sosial di masyarakat, agar mudah mendapat pekerjaan kelak, dan agar cepat meraih sukses.

Masyarakat dibuat "ketagihan" akan pendidikan. Iming-iming diskon besar, bebas biaya masuk, gelar ganda (dual degree), dan lain sebagainya. Fenomena ini kita kenal sebagai komersialisasi pendidikan. Pendidikan telah menjadi pasar. Sekolah-sekolah didirikan atas dasar permintaan dan penawaran, atas dasar kebutuhan pasar (lapangan kerja). Implikasinya proses pendidikan tidak lagi penting. Sekolah hanya mementingan aspek pengajaran. Tanggung jawab guru hanya sebatas memberi ilmu. Guru tidak "bergigi" lagi untuk mendidik anak dengan tegas, menegur, apalagi memberi hukuman.

Komersialisasi pendidikan bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini mungkin sudah terjadi seabad lalu di berbagai belahan dunia lain. Dalam analisis Lyotard - seorang pemikir postmodern - mengenai pendidikan, apa yang diajarkan disesuaikan oleh syarat-syarat teknologis dari suatu sistem, dan para pendidik dievaluasi berdasarkan efisiensi penyampaian bahan pelajaran. Bukankah pendidikan di Indonesia zaman now sangat teknologis?

Kiranya sudah banyak tulisan mengenai hal di atas. Salah satunya - yang sering menjadi pembahasan guru - adalah mengenai kriteria ketuntasan minimum(KKM). KKM ini kadang dibahas serius, kadang pula dibahas sebagai candaan oleh guru. Pada kenyataannya, saat ini guru tidak diberi kebebasan untuk menentukan kriteria tersendiri -- apakah siswa telah mencapai kemampuan yang diharapkan. Padahal sebenarnya ada aturan sendiri dalam menentukan nilai KKM. Tetapi karena tuntutan sekolah favorit - misalnya, mana mungkin nilai KKM-nya rendah. Ujungnya adalah nilai siswa dikondisikan agar selalu "baik" atau "sangat baik". Intinya guru tidak lagi memberi nilai yang autentik.

Sekitar bulan Oktober 2017 yang lalu, ada orang tua bertemu dengan kepala sekolah untuk membahas perkembangan akademik anaknya yang cenderung menurun. Ketika kepala sekolah bertanya si anak (masih tingkat SMP) akan disekolahkan ke mana setelah ini, orang tua mengungkapkan akan disekolahkan di SMA "X". 

Alasannya, anaknya malas belajar. Anaknya lebih suka main futsal. Tapi kalau bersekolah di SMA "X" tidak masalah, karena guru di sana selalu memberi nilai bagus-bagus (maksudnyadi atas 80), meskipun anaknya nanti tetap malas belajar. Sekolah diminati bukan karena kualitas pendidikannya, tetapi karena kemudahan memberi nilai.

Ada lagi yang menarik. Munculnya istilah sekolah favorit, sekolah model, sekolah masa depan, sekolah nasional plus, dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini muncul sebagai program inovasi dalam dunia pendidikan. Tapi seperti yang kita tahu, keunggulan sekolah-sekolah seperti ini tidak lain hanya sebatas kelengkapan yang sifatnya administrasi belaka, kalau tidak dianggap sebagai gagah-gagahan belaka. Tidak menyentuh akar masalah pendidikan. Biasanya program-program ini tidak berumur panjang. Sekolah hanya memanfaatkan labelnya saja sebagai daya tarik untuk merekrut banyak siswa baru.

Ironinya adalah justru saat ini pengangguran terdidik semakin bertambah. Lembaga pendidikan yang menggembar-gemborkan bahwa lulusannya bakal diterima kerja di mana pun ternyata tidak mampu menjamin apa yang dikatakannya.

Saat ini persaingan di "industri" pendidikan begitu tinggi. Tidak hanya pendidikan tinggi, juga termasuk pendidikan rendah seperti taman kanak-kanak. Berdasarkan pengamatan minim saya di lingkungan sekitar saya, minat masyarakat pun lebih cenderung ke sekolah-sekolah kejuruan. 

Alasannya sudah jelas. Lulus langsung kerja. Pembukaan jurusan pun semakin spesifik. Sehingga sekolah-sekolah sekitar yang berada di satu lingkungan, baik negeri -- apalagi swasta, semakin khawatir jumlah murid berkurang. Barangkali sekolah berstatus negeri mungkin sedikit aman karena sudah diminati oleh masyarakat. Selain itu, biaya lebih murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun