Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedanya Hukuman dan Kekerasan dalam Pendidikan

30 Mei 2017   16:00 Diperbarui: 30 Mei 2017   17:12 2454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tindakan kekerasan dikatakan kekerasan juga karena tindakan tersebut tidak konsisten terhadap perbuatan salah peserta didik. Misalkan, siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah (pekerjaan rumah – PR) disuruh berdiri di depan kelas atau diusir ke luar kelas. Dalam hal ini guru tidak mempertimbangkan, misalkan, kemampuan siswa, PR dari guru lain, PR terlalu sulit bagi siswa, kondisi siswa saat di rumah, atau faktor-faktor lainnya. Malahan hak siswa untuk mengikuti proses belajar menjadi hilang karena disuruh berdiri atau diusir dari kelas. Selain itu, dampak psikologis (rasa malu, lelah, takut) terhadap siswa tidak menjadi pertimbangan guru. Supaya tidak terjerumus pada kekerasan, seorang pendidik wajib mengetahui alasan di balik perbuatan peserta didiknya. Sehingga dapat memberikan teguran dan/atau hukuman yang tepat. Bahkan bila perlu, si anak diberitahukan mengapa penting baginya untuk mengerjakan PR.

Contoh lain ketika siswa ramai di kelas. Maksud ramai di sini adalah sebagian atau seluruh siswa membuat suara, berbicara, berteriak, atau mengganggu teman saat guru sedang mengajar. Hal ini memang sangat mengganggu bagi guru. Respon guru biasanya dimulai dengan diam sejenak (sambil mata melotot), memukul-mukul meja, sampai berteriak untuk menertibkan kelas. Guru diliputi perasaan marah, membentak-bentak siswa. Secara psikologis, hal ini berdampak buruk bagi peserta didik. Menciptakan rasa takut terhadap guru. Tentu kita tidak menginginkan hal ini. Hal yang sering tidak disadari oleh guru dalam hal ini antara lain: bisa jadi pelajaran membosankan, siswa lelah, pembawaan guru terlalu monoton, konsentrasi siswa telah memudar, atau bahkan saat itu siswa sedang tidak tertarik untuk belajar. Di sisi guru, kita bisa amati bahwa guru bersangkutan tidak memiliki kemampuan menguasai kelas, membuat pelajaran lebih menarik bagi siswa, hingga tidak memiliki kemampuan mengintrospeksi diri. Saya pikir, membentak siswa merupakan tindakan kekerasan.

Beberapa saran

Lalu apa yang membuat guru lekas marah atau kesal sehingga melakukan kekerasan? Pertama, guru merasa dilecehkan oleh siswa. Umumnya guru merasa dilecehkan ketika siswa menunjukkan perbuatan mengganggu, tidak mengerjakan PR, atau ramai dalam kelas. Guru yang seperti ini biasanya memiliki harga diri (self esteem) yang tinggi, ingin dihormati, ingin didengarkan. Baginya peserta didik berada di bawah kekuasaannya (lebih rendah). Kekurangan tipe guru ini adalah kurangnya introspeksi diri dan kurang peduli terhadap kondisi siswa.

Di zaman ini, pendidik dituntut untuk sanggup mengenali kondisi generasi yang sedang dididiknya―generasi milenial. Yang dibutuhkan di sini sebenarnya adalah seorang pendidik yang sanggup berinovasi dan peduli terhadap peserta didik. Sehingga pendidik mengenal dengan benar kecerdasan, kondisi mental, atau cara belajar para peserta didiknya. Ibarat orang dewasa berjalan bersama anak kecil; adalah salah bila anak kecil disuruh mengikuti gerak dan kecepatan langkah orang dewasa. Demikian pula mendidik anak zaman sekarang. Pendidik harus melangkah bersama peserta didik. Tuntutan pendidik tidak bisa serta-merta dipaksakan kepada peserta didik. Harus dengan pendekatan yang tepat.

Kedua, guru tidak bisa mengendalikan diri. Biasanya guru seperti ini memiliki sifat mudah marah atau meledak-ledak. Sifat marah ini biasanya semakin nyata ketika sang guru memiliki beberapa masalah baik dalam dirinya, seperti memiliki penyakit hipertensi, maupun dari luar dirinya, misalnya masalah keluarga. Guru seperti ini, saya pikir, perlu melatih diri untuk mengendalikan amarah dan lebih menunjukkan keprofesionalannya saat berada di lingkungan sekolah.

Sebagai penutup, ketika pendidik memberikan hukuman kepada peserta didik, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip yang telah dituliskan di atas, yakni mempertimbangkan antara lain waktu pemberian hukuman, alasan, konsistensi dan prinsip keadilan. Pendidik sebaiknya tidak memberi label tertentu―siswa pemalas, bodoh, pembangkang, kelas nakal, dll―kepada peserta didik. Sebaliknya, pendidik disarankan untuk melangkah bersama ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Penting juga untuk memiliki seperangkat norma atau aturan di sekolah yang membatasi pemberian hukuman supaya tidak terjerumus kepada tindakan kekerasan. Terakhir, sekolah wajib membangun komunikasi yang baik kepada orang tua murid dalam mendidik anak.

Sumber bacaan:

Djamal, M. 2016. Fenomena Kekerasan di Sekolah. Pustaka Pelajar.

Seeley, Levy. 2015. Sejarah Pendidikan. IndoLiterasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun