"The whole world is a series of miracles, but we're so used to them we call them ordinary things." -- Hans Christian Andersen -
Sore kelabu di beranda kafe seberang Tugu Jogja. Sudah empat hari berlalu sejak penulis meninggalkan Jakarta dalam pengembaraan ini. Di atas jok motor, melintasi pesisir selatan Jawa hingga tiba di Jogja, tak henti-hentinya penulis dibuat terpukau oleh hamparan pemandangan alam yang tersaji. Entah itu megahnya pegunungan berhias belantara dan perkampungan dari mulai Garut hingga Tasikmalaya, maupun luasnya laut bermandikan sinar matahari di sepanjang Pangandaran, rasanya tidak peduli seberapa sering perjalanan semacam ini diulang, penulis selalu menemukan antusiasme baru yang memanjakan pikiran.
Di tengah penuh sesaknya benak dengan sejuta perasaan riang, draf kosong di depan layar adalah realita berbanding terbalik yang penulis dapati saat ini. Untuk mencurahkan emosi yang abstrak menjadi rangkaian kata bukanlah perkara mudah, dan bahkan di antara deretan kalimat ini, perasaan itu masih tumpah-ruah dan mengacak-acak susunan gramatikal. Euforia perjalanan bukan hanya melelahkan pikiran dengan imajinasi, melainkan juga menyisakan sedikit ruang untuk berefleksi dengan serius melalui kata-kata.
Fakta bahwa tulisan ini adalah upaya (yang seharusnya) serius untuk membedah (setidaknya sebagian) aspek kehidupan manusia semakin memberatkan langkah untuk mencari awal yang tepat dari bab pertama ini. Kendala semacam ini jelas tak terduga mengingat seorang penulis biasanya menemukan inspirasi justru dari pikiran yang positif. Mungkin hal semacam ini juga merupakan temuan yang mengkhawatirkan, sebab itu artinya penulis sedang dalam periode "kalap" karena tidak terbiasa berada dalam situasi yang menyenangkan seperti sekarang ini.
Jogja sudah menjadi rumah sementara selama dua hari terakhir ini. Dua hari ini penuh kisah dan perjumpaan dengan berbagai orang asing yang singgah dalam episode perjalanan ini. Sebagaimana pelayan kafe yang datang sekadar untuk mengantarkan menu dan pesanan lalu kemudian pergi, orang-orang yang penulis temui sejauh ini singgah hanya untuk suatu keperluan lalu kemudian pergi bahkan kadang tanpa menyebutkan namanya.
Pengalaman semacam ini utamanya terasa selama penulis singgah di The Cubic. Hostel model asrama ini di dalam kamarnya menampung selusin lebih manusia lintas negara, namun yang mengejutkan ia terasa sangat nyaman dan mengakomodir kebutuhan akan privasi berkat pendingin ruangan dan ranjang model kubikelnya. Orang-orang yang menginap kebanyakan adalah pelancong yang membutuhkan tempat transit sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata seperti Kawah Ijen, Gunung Bromo, hingga Pulau Bali.
Seorang bapak-bapak gempal berusia kira-kira lima puluhan awal yang penulis sapa pagi ini saat sarapan, misalnya, sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta untuk melanjutkan kerja sebagai pengajar kampus setelah mengambil cuti selama beberapa hari. Ia merupakan seorang jurnalis yang (konon menurut pemaparannya) memelopori penggunaan kata "gadget" pertama kali di Indonesia sekitar tahun 2005, jauh sebelum istilah tersebut menjadi populer seperti sekarang. Kendati dengan latar belakang "tech" seperti ini, lucunya ia adalah seorang sarjana seni yang kini mengajar manajemen seni di kampusnya.
Ada juga beberapa orang turis asal Prancis yang berniat untuk melanjutkan perjalanan ke arah Jawa Timur dengan menumpang kereta. Rencana mereka adalah mengendarai motor sesampainya di sana untuk mengunjungi tempat-tempat seperti Probolinggo hingga Banyuwangi sebelum melanjutkan kembali jalan-jalan mereka ke Pulau Bali dan Lombok. Model perjalanan semacam ini rupanya adalah template yang turut penulis temui pada turis mancanegara lain yang singgah di sini, sebut saja misalnya Dong dari Thailand yang memiliki rencana serupa namun dibuat lebih singkat.
Penjaga hostel ini adalah seorang pria berumur 22 tahun bernama Adi. Ia memiliki garis keturunan Jawa dan Bali dari kedua orang tuanya, namun uniknya lahir dan besar di Ambon. Ia memutuskan untuk merantau ke Jawa dan menyambung hidup dengan bekerja sebagai penjaga hostel di Jogja. Sesekali ia bepergian ke sekitaran Bali untuk menemui teman-teman bule yang ia peroleh selama bekerja di sini. Kehidupannya terdengar penuh dengan petualangan menyenangkan kendati jika ditanyakan pendapatnya mengenai hidupnya ini, Adi akan mengatakan bahwa ia ingin memiliki penghasilan yang lebih stabil dan besar agar ia dapat lebih sering bepergian dan menemui para kekasih bule-nya yang lebih banyak bermukim di Bali atau negara asalnya. Sepertinya selalu ada hal lebih yang ingin kita tuntut dari hidup, tak peduli seberapa menyenangkannya hidup kita di mata orang lain.
Ada juga seorang turis asal China yang jatuh cinta dengan Adi dan terus memperpanjang masa tinggalnya di sini hingga sebulan lebih. Sepertinya Playboy ini akan kesulitan untuk berpetualang mencari cinta yang lain selama gadis China ini masih di Jogja. Ya mungkin begitulah nasib seorang Playboy mancanegara, suatu hari nafsu kasmarannya akan menjebaknya dalam dilema hubungan dengan satu atau lebih wanita. Menjadi lajang mungkin merupakan kemewahan yang baru dapat disyukuri setelah sudah ditanggalkan.