Menjadi pelaku di pasar saham sejak awal tahun 2021 ini mirip seperti menaiki rollercoaster yang melaju 100 km/jam, bergerak naik hingga menyentuh ketinggian 100 meter dengan elevasi di atas 45 derajat, meluncur turun dengan kemiringan yang lebih curam, untuk kemudian membawa Anda berputar ke mana-mana, sebelum akhirnya tiba di titik awal keberangkatan.
Artinya, kendati Anda mungkin merasakan adrenalin Anda terpompa sedemikian rupa, pada akhirnya Anda tidak mengalami perpindahan lebih jauh dari orang yang sedari awal duduk manis di pinggir wahana rollercoaster tadi.
Yang mungkin membedakan orang tersebut dari Anda adalah bahwa selama Anda pegal mengantre menunggu giliran menaiki rollercoaster, ia mungkin sedang mempelajari laporan keuangan dan bisnis dari taman hiburan ini untuk melihat kemungkinan berinvestasi di sini.
Selama paling tidak dua bulan ini, berita silih berganti menampilkan berbagai macam prospek yang akan dialami oleh berbagai emiten di pasar saham. Tengok misalnya BRIS dan prospeknya sebagai bank syariah terbesar di Indonesia pasca merger.
Ada juga saham emiten farmasi seperti KAEF dan KLBF yang dipompa sedemikian kencangnya hanya karena prospek vaksinasi dan kebutuhan akan alat kesehatan serta layanan tes. Lagi-lagi, para partisipan yang berspekulasi pada saham semacam ini tidak mampu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai dan malah sibuk mencari pinjaman sana-sini.
Ujung-ujungnya, fenomena FOMO (fear of missing out) semacam ini menyebabkan tidak sedikit orang mengalami kerugian jutaan hingga miliaran. Beberapa kolega penulis yang awalnya sering membagikan screenshot portfolio mereka yang sempat cuan di penghujung tahun 2020 kini sebagian harus menelan pil pahit ketika saham-saham FOMO pilihan mereka mengalami Auto Reject Bawah (ARB) selama beberapa hari berturut-turut.
Bagi yang tidak tahu apa itu FOMO dan ARB, istilah pertama merujuk pada tekanan psikologis yang mendera pelaku pasar modal ketika melihat harga suatu instrumen (dalam hal ini saham) terus bergerak naik sementara ia belum sempat membeli instrumen tersebut sebelumnya. Hal ini kadang memicu mereka untuk membeli instrumen tersebut saat harganya sedang tinggi-tingginya alias mahal dengan harapan bahwa mereka masih dapat menikmati momentum apresiasi tersebut.
ARB adalah istilah untuk menggambarkan situasi ketika harga harian instrumen investasi, biasanya saham, berada pada titik koreksi terendah yang diperbolehkan regulator (saat ini sekitar minus 6 – 7 % per harinya). Pada situasi ini biasanya tidak ada pelaku lain yang berani membeli dengan harga di atas harga ARB sehingga otomatis instrumen yang bersangkutan menjadi tidak likuid.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, kita turut menyaksikan pertumbuhan signifikan dari jumlah partisipan di pasar modal sebagai akibat dari liberalisasi dan demokratisasi pasar yang bersangkutan. Kini pemodal besar seperti institusi maupun pemodal kecil seperti mahasiswa sekalipun dapat berinvestasi dengan modal receh berkat lahirnya bermacam platform investasi.
Yang kemudian luput dari perhatian sebagian investor, khususnya mereka yang baru mulai, adalah pemahaman mendasar mengenai apa itu investasi. Tanpa disadari, investasi kerap dipandang lebih sebagai kegiatan jual-beli di mana tugas seorang investor adalah membeli suatu instrumen untuk kemudian mencari pembeli selanjutnya yang berani membayar dengan harga yang lebih mahal untuk instrumen tersebut.