Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Memahami Sisi Lain Industri Asuransi, Belajar dari Sejarah Kelam AIG dan Jiwasraya

31 Oktober 2020   08:00 Diperbarui: 2 November 2020   20:11 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa tahun 2020 hanya tinggal menyisakan dua bulan lagi. Waktu berlalu dengan cepat, sementara masalah utama terkait pandemi Covid-19 belum menemui jalan keluar yang menggembirakan, yakni dengan ditemukannya vaksin yang telah teruji klinis 100% mampu melawan virus corona.

Tanpa adanya vaksin, masyarakat praktis hanya dapat mengandalkan sistem imun masing-masing untuk melawan virus corona sembari senantiasa menaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.

Di balik kondisi semacam ini yang turut diikuti dengan perlambatan ekonomi sebagai akibat dari kebijakan PSBB atau lockdown, industri asuransi mengendus adanya peluang bisnis tersendiri, terutama dari segmen asuransi kesehatan.

Dengan kekhawatiran masyarakat akan pandemi Covid-19 yang setiap hari terus terjaga dan bahkan semakin menjadi, kebutuhan akan proteksi asuransi kesehatan nampaknya semakin jelas terlihat.

Potensi pengeluaran untuk biaya perawatan dan pengobatan yang tidak sedikit tentu menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar kalangan. Untuk itu, asuransi kesehatan jelas dibutuhkan untuk memberikan proteksi terhadap potensi kerugian besar di masa depan.

Peluang ini mendorong berbagai perusahaan asuransi untuk semakin menggencarkan pemasarannya dan menarik lebih nasabah baru untuk bergabung. Semakin banyak nasabah yang dapat dihimpun, semakin banyak pula pendapatan premi yang dapat diperoleh perusahaan asuransi.

Selain mengandalkan tenaga pemasaran terlatih dari perusahaan serta pihak ketiga seperti telemarketing bank, perusahaan asuransi juga mengandalkan tenaga pemasaran lain dari kalangan agen lepas yang direkrut dengan sistem komisi.

Para agen umumnya dibekali pelatihan dan pengetahuan, baik secara langsung oleh perusahaan maupun melalui leader yang menjembatani agen dengan perusahaan, mengenai produk asuransi yang hendak dipasarkan berikut dengan cara menjangkau dan meyakinkan calon nasabah agar berminat untuk membeli polis tertentu.

Beberapa teknik yang lazim diterapkan meliputi presentasi mengenai keunggulan finansial dari memiliki asuransi, bonus-bonus menarik yang dapat diperoleh calon nasabah ketika membeli polis, hingga dampak negatif bagi calon nasabah apabila tidak mendapat proteksi asuransi.

Kendati teknik yang disebutkan terakhir ini terdengar agak jahat, kenyataannya kita sebagai manusia kerap dikendalikan oleh tendensi “loss-aversion”, semacam bias pikir di mana seseorang cenderung menghindari potensi kerugiaan di masa depan.

Secara prinsip, asuransi sebetulnya merupakan salah satu penemuan penting di dunia finansial karena modelnya didasari pada mekanisme “burden-sharing”. Ketimbang suatu kerugian dibebankan seluruhnya kepada seseorang, lebih baik kerugian tersebut disebar kepada banyak orang agar dampaknya dapat diminimalisir.

Hal ini pula yang kemudian menginspirasi munculnya bisnis reasuransi yang memungkinkan perusahaan asuransi mengasuransikan polis yang telah dibeli nasabahnya kepada perusahaan asuransi lain. Dengan cara demikian, sebagian beban klaim yang berpotensi terjadi di masa depan dapat dipindahkan kepada pihak lain.

Akan tetapi, bisnis asuransi tentu tidak senantiasa nampak sempurna dari segala sisi. Salah satu tantangan dari perusahaan asuransi adalah mengenai bagaimana mereka mengelola pendapatan yang mereka peroleh dari premi di muka.

Premi yang diterima ini lazim disebut sebagai “float” dalam dunia asuransi. Bagi perusahaan asuransi, float memiliki posisi unik tersendiri. Float belum dapat serta-merta dikatakan sebagai aset milik perusahaan. Kendati demikian, perusahaan berhak menginvestasikan float tersebut agar memperoleh imbal hasil, misalnya dengan membeli saham, obligasi, atau reksadana yang dipandang mampu mengalami apresiasi harga di masa depan.

Itu mengapa jika Anda mempelajari laporan keuangan dari perusahaan asuransi, Anda akan selalu menjumpai bagian aset berupa investasi yang sangat besar nilainya dengan komponen yang sangat bervariasi jenisnya.

Misalnya saja dalam laporan keuangan 2019, PT Paninvest Tbk., anak usaha dari Panin Group di bidang asuransi, memiliki komponen investasi sebesar 25% dari total asetnya yang berjumlah Rp. 30 triliun lebih. Demikian juga dengan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia yang memiliki Rp. 8 triliun aset investasi dari keseluruhan aset sebesar Rp. 20 triliun.

Pertanyaannya kemudian, mengapa perlu dibuat pengaturan semacam ini? Jawaban sederhananya adalah karena model bisnis asuransi secara alamiah akan menyebabkan kerugian kepada perusahaan asuransi apabila perusahaan tersebut hanya mengandalkan uang yang dihimpun dari premi untuk menutupi klaim.

Memang benar bahwa perusahaan asuransi memiliki kalkulasinya tersendiri pada saat menetapkan premi. Misalnya saja dalam bisnis asuransi kesehatan, faktor seperti riwayat penyakit, usia, jenis kelamin, dan seterusnya mempengaruhi berapa premi yang harus nasabah bayarkan.

Akan tetapi kalkulasi tersebut juga didasari pertimbangan mengenai ekspektasi imbal hasil investasi yang dapat perusahaan peroleh ketika uang premi diinvestasikan. Tanpa pertimbangan tersebut, boleh jadi meskipun premi akan menjadi lebih besar nilainya, perusahaan asuransi akan tetap mengalami kerugian.

Ini dikarenakan adanya kemungkinan terjadi fenomena-fenomena langka seperti “black swan” yang sebelumnya tidak diketahui dan diperkirakan probabilitasnya sehingga ketika terjadi menghasilkan dampak signifikan terhadap perusahaan.

Dari sinilah kemudian bisnis asuransi dimodelkan sedemikian rupa sehingga perusahaan dapat memastikan seluruh klaim dapat terbayar tanpa menyebabkan perusahaan mengalami kerugian besar.

Oleh karena cara perusahaan asuransi menginvestasikan premi yang diperolehnya menjadi salah satu faktor krusial di sini, kita tentu membayangkan bahwa pihak perusahaan akan berhati-hati dalam bertindak. Sayangnya, sebagaimana dapat Anda ketahui dari judul dan sebagaimana pula dapat Anda bayangkan sembari terkekeh dalam hati, kenyataannya tidak senantiasa berjalan demikian.

Masih ada perusahaan asuransi di luar sana yang kurang berhati-hati, tidak hanya dalam berinvestasi, melainkan juga dalam hal menentukan risiko seperti apa yang perlu mereka tanggung bagi calon nasabah dan kemudian dicantumkan dalam polis.

Di sini penulis akan menyajikan kembali dua buah kenangan pahit yang mencoreng dunia asuransi baik di tingkat nasional maupun internasional. Setelahnya kita akan sama-sama melihat pelajaran apa saja yang dapat kita petik dari kedua peristiwa tersebut.

American International Group Inc. (AIG)

AIG sebagai Sponsor Manchester United | Sumber Gambar: fourfourtwo.com
AIG sebagai Sponsor Manchester United | Sumber Gambar: fourfourtwo.com

Bagi sebagian kalangan di tanah air yang kurang mengikuti sejarah krisis ekonomi di tahun 2008, nama perusahaan ini mungkin sedikit asing di telinga. Akan tetapi apabila Anda adalah fans Manchester United sejak lama, logo perusahaan ini tentu sudah tidak asing lagi karena pernah menghiasi jersey tim sepak bola tersebut sebagai sponsor untuk beberapa tahun lamanya.

Sudah lebih dari satu dekade semenjak AIG diselamatkan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bailout sebesar USD 150 miliar. Semenjak saat itu, AIG telah melunasi cicilan utang terakhirnya pada tahun 2013 kepada pemerintah dan hingga kini masih beroperasi kendati tidak memiliki ukuran sebesar di masa lalu yang sempat membuatnya menjadi bisnis yang dikategorikan “too big to fail”.

Sebagai salah satu raksasa di dunia asuransi, krisis yang menimpa AIG mengejutkan banyak pihak waktu itu, sebagaimana mereka terkejut ketika bank besar bernama Lehman Brothers Holdings Inc. mengumumkan kepailitan oleh karena krisis yang sama.

Apabila Anda sulit membayangkan betapa terkejutnya dunia ketika kedua perusahaan tersebut ambruk di tahun 2008, bayangkan hal yang sama menimpa perusahaan serupa di Indonesia, katakanlah misalnya Bank BCA tiba-tiba bangkrut. Atau jika masih sulit, perlu diingat bahwa AIG saat itu memiliki nilai aset mendekati USD 1 triliun!

Salah satu penyebab utama krisis yang dialami oleh AIG saat itu adalah karena “kenekatan” perusahaan tersebut dalam memberikan jaminan asuransi terhadap Collateralized Debt Obligations (CDO). CDO merupakan produk investasi berisi berbagai jenis surat utang yang dipaketkan untuk dijual kepada para investor.

Karena pada era tersebut sedang terjadi pelonggaran regulasi mengenai KPR di Amerika Serikat, komposisi utama dari CDO adalah KPR. Bank-bank yang memberikan KPR mengasuransikan utang ini kepada perusahaan-perusahaan seperti AIG melalui produk bernama Credit Default Swap (CDS) dengan harapan apabila KPR macet di tengah jalan, pihak asuransi seperti AIG dapat mengganti kerugian bank.

AIG dan perusahaan sejenis cukup percaya diri dalam menjamin CDS karena berdasarkan kalkulasi mereka, kemungkinan klaim sangat kecil.

Hal ini didukung oleh jejak historis selama lima tahun sebelum terjadinya krisis tahun 2008 di mana pendapatan premi dari CDS tumbuh dari USD 737 juta menjadi USD 3 miliar.

Sayangnya AIG menjadi serakah dan nekat memberikan jaminan asuransi melebihi kemampuannya untuk membayar seluruh klaim potensial. AIG telah menjual CDS yang secara total memunculkan potensi klaim sebesar USD 500 miliar dengan USD 78 miliar di antaranya ditujukan untuk CDO!

Terjadi efek berantai yang diawali dengan meningkatnya gagal bayar KPR yang diikuti dengan menurunnya credit rating AIG dan selanjutnya memaksa AIG memberikan kolateral kepada para pemegang obligasinya sesuai perjanjian awal yang mengharuskan AIG menjaga rating mereka di level AAA.

Kondisi ini diperparah bisnis lainnya dari AIG, yakni peminjaman surat berharga kepada perusahaan lain dengan jaminan uang. Uang jaminan tersebut turut digunakan AIG untuk berinvestasi di aset-aset yang berisiko tinggi mengalami gagal bayar. Pada saat perusahaan yang meminjam surat berharga mengetahui AIG kesulitan mengembalikan uang jaminan, mereka berbondong-bondong meminta pengembalian uang jaminan mereka, mengakibatkan AIG menjadi semakin tidak likuid.

Kejadian ini pada akhirnya mengakibatkan divisi AIG Financial Products (AIGFP) mencatatkan rugi USD 25 miliar di tahun tersebut, dengan AIG secara keseluruhan menderita rugi USD 99.2 miliar, dan memaksa pemerintah AS memberikan bailout karena ternyata banyak institusi lain yang memiliki investasi di AIG seperti misalnya lembaga pengelola dana pensiun, reksadana, hingga bank terkemuka seperti Goldman Sachs Group Inc. yang diisukan memiliki kepentingan sebesar USD 20 miliar di AIG dalam berbagai bentuk.

PT Asuransi Jiwasraya (Persero)

Jiwasraya dan Manchester City | Sumber Gambar: sport.detik.com
Jiwasraya dan Manchester City | Sumber Gambar: sport.detik.com

Untuk yang ini sepertinya lebih familiar di tengah masyarakat kita karena kasusnya terjadi di dalam negeri dan masih cukup hangat. Asuransi tertua di Indonesia mengalami permasalahan tata kelola yang buruk hingga pada September 2019, posisi ekuitasnya berada di level minus Rp. 23.92 triliun dan membutuhkan Rp. 32.89 triliun hanya untuk kembali sehat lagi!

Ternyata jauh sebelum dibeberkannya fakta ini dan juga sejumlah kasus gagal bayar yang sempat menghebohkan masyarakat, dan bahkan jauh sebelum Jiwasraya mensponsori tim sepak bola Manchester City pada tahun 2014, tanda-tanda masalah sudah mulai terlihat.

Pada tahun 2006, Kementerian BUMN dan OJK sudah menyatakan bahwa posisi ekuitas perusahaan saat itu sudah minus Rp. 3.29 triliun. Bahkan pada 2008 OJK sempat meragukan kebenaran informasi pencadangan Jiwasraya dan defisit sudah menyentuh Rp. 5.7 triliun.

Berlanjut pada tahun 2011 – 2012, skema reasuransi Jiwasraya yang membantu perusahaan mencatatkan surplus Rp. 1.3 triliun dinyatakan hanya sebagai window dressing oleh Kepala Biro Perasuransian, Isa Rachmatawarta, karena tidak menunjukkan keuntungan ekonomis sesungguhnya. Praktis permohonan perpanjangan reasuransi ditolak oleh Isa.

Sayangnya pada tahun 2012, izin yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK terhadap produk JS Proteksi Plan tidak dimanfaatkan Jiwasraya untuk memperbaiki performanya. Perusahaan justru memberikan bunga tinggi sebesar 9 – 13% yang jauh di atas deposito dan menyebabkan pengeluaran perusahaan membengkak.

Tahun 2017 memberikan gambaran yang sedikit positif karena produk JS Saving Plan membantu perusahaan menorehkan pendapatan premi Rp. 21 triliun dengan laba bersih Rp. 2.4 triliun.

Akan tetapi produk ini dapat dicairkan setiap tahun dan menjadi potensi masalah baru bagi Jiwasraya yang pada dasarnya memiliki kesulitan dalam hal likuiditas.

Dan benar saja, di tahun 2018, begitu nasabah mulai mencium kebobrokan perusahaan, mereka ramai-ramai mencairkan JS Saving Plan.

Ini diperburuk dengan revisi Kantor Akuntan Publik (KAP) PWC atas laporan keuangan 2017 Jiwasraya di mana laba bersih Rp. 2.4 triliun mengalami koreksi hingga menjadi Rp. 428 miliar saja.

Di tahun yang sama, Menteri BUMN Rini Soemarno mendalami kasus gagal bayar Jiwasraya dengan meminta BPK dan OJK untuk melakukan investigasi. Hal ini diikuti oleh gagal bayar JS Saving Plan sebesar Rp. 802 miliar.

Puncaknya pada November 2019, Menteri BUMN Erick Tohir melaporkan kasus Jiwasraya kepada Kejaksaan Agung. Kementerian BUMN sendiri mensinyalir bahwa Jiwasraya telah lama menginvestasikan dananya di saham-saham “gorengan”, sesuatu yang menyalahi prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi bagi perusahaan asuransi. Hal ini menjadi salah satu penyebab dari masalah yang mendera Jiwasraya di samping juga kasus korupsi yang menjerat para petingginya di level manajemen.

Khusus mengenai saham “gorengan”, pada banyak kesempatan, perjudian semacam ini lebih banyak mengakibatkan negative spread yang menekan likuiditas perusahaan. Ditambah dengan produk-produk investasi yang berbunga tinggi yang ditawarkan kepada para nasabahnya, nasib Jiwasraya sejatinya sudah ditentukan sejak lama.

Seluruh uraian ini masih menyentuh pucuk gunung es dari permasalahan pelik Jiwasraya yang hingga kini proses hukumnya masih terus berlanjut. Dari sini para pembaca dapat melihat betapa parahnya pengelolaan perusahaan asuransi plat merah ini yang seharusnya menjadi kebanggaan negara.

Benang Merah bagi Agen dan Nasabah Asuransi Hari Ini

Baik AIG maupun Jiwasraya merupakan perusahaan terkemuka pada masanya. Apabila kita kembali ke masa lalu, rasanya mustahil kedua raksasa asuransi ini akan tersungkur sedemikian dalamnya di kemudian hari. Namun seperti inilah faktanya.

Lantas, apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran, terutama untuk para agen yang hari-hari ini giat mencari nasabah baru serta para nasabah yang bergantung kepada perusahaan asuransi apabila sewaktu-waktu mengalami insiden yang sangat merugikan secara finansial?

Pertama, pahami karakteristik suatu perusahaan asuransi berikut produk dan mekanisme penghitungan atas kerugian yang ditanggung.

Pelajari dan pertimbangkan apakah perusahaan mampu menutupi seluruh klaim potensial di masa depan berdasarkan kemampuan finansialnya hari ini. Ingat, “black swan” senantiasa mengintai tanpa kita sadari. Bagaimana bila esok hari seluruh aset investasi perusahaan asuransi anda ludes? Seberapa besar cadangan kasnya dibanding potensi klaim? Apakah masih aman?

Kedua, pahami bahwa patokan perusahaan asuransi yang kuat bukan didasarkan pada polis yang berhasil dijual, melainkan dari persentase polis yang tidak diklaim.

Apa artinya bagi perusahaan memberikan asuransi kesehatan bagi jutaan orang apabila separuhnya akan melakukan klaim yang nilainya bisa puluhan hingga ratusan kali lipat premi yang dibayarkan?

Warren Buffett pernah menjelaskan mengapa ia menyukai bisnis asuransi mobil. Menurutnya, orang-orang yang memiliki asuransi mobil umumnya merupakan pengendara yang hati-hati sehingga potensi klaimnya cenderung rendah. Entah sebagai nasabah maupun agen, Anda ingin perusahaan asuransi pilihan Anda memiliki kemampuan finansial yang memadai, kan? Dengan demikian, Anda sebagai agen merasa tenang karena yakin perusahaan mampu membayar komisi, sedangkan sebagai nasabah Anda juga tenang karena yakin klaim Anda akan terbayarkan.

Ketiga, jangan malas mempelajari investasi perusahaan asuransi pilihan Anda.

Di mana saja investasi perusahaan tersebut tersebar? Jika pada obligasi, bagaimana rating obligasinya? Jika pada saham, apakah ada yang merupakan saham “gorengan”? Jika pada deposito, berapa bunganya dan seberapa baik reputasi banknya? Jika pada reksadana, bagaimana kinerjanya jika dibandingkan dengan IHSG? Dan jika pada anak perusahaan asuransi, bagaimana kemampuannya dalam menghasilkan uang bagi perusahaan induk? Lagi-lagi, ini berlaku bagi para agen dan nasabah.

Keempat, kenali manajemen perusahaan asuransi pilihan Anda.

Anda tidak perlu menjadi investor saham untuk wajib melakukan ini. Anda perlu memastikan bahwa bisnis perusahaan asuransi dikelola oleh orang yang tepat, baik dari sisi kompetensi maupun karakter. Cek rekam jejaknya dan apabila Anda belum merasa yakin, jangan menceburkan diri Anda di sana.

Terakhir, tetap tingkatkan literasi keuangan Anda.

Jangan sampai gagap dengan terminologi keuangan karena dalam banyak kasus perusahaan yang bobrok, manajemen kerap menggunakan terminologi rumit untuk menutupi boroknya dalam berbagai kesempatan. Hanya karena nama produk asuransinya keren, bukan berarti berkualitas. Hanya karena instrumen investasi perusahaan menggunakan Bahasa Inggris, bukan berarti tanpa masalah.

Selama masa pandemi Covid-19, penulis mengamati adanya fenomena pergeseran profesi yang dialami oleh beberapa orang kenalan dan kawan penulis. Mereka umumnya merupakan kalangan yang sebelum pandemi telah memiliki karir tersendiri dan pada saat ini menjadikan pekerjaan di keagenan asuransi sebagai pekerjaan sambilan.

Ada yang memang menjadi agen dan ada yang menjadi leader. Terlepas dari perannya, selama ini ketika menyaksikan presentasinya di media sosial, entah melalui pesan pribadi maupun postingan yang disebar kepada khalayak, kelima hal yang penulis sebutkan barusan jarang dipaparkan oleh mereka.

Yang lebih lazim memang adalah analisis cost-benefit dari memiliki asuransi seperti mengenai sarana untuk meminimalisir kerugian atau sebagai wadah investasi. Beberapa yang mencoba sedikit lebih kreatif melakukan social-proof untuk meyakinkan calon nasabah terhadap kinerja perusahaan asuransi seperti misalnya menunjuk fakta bahwa beberapa stadion sepak bola diberi nama menggunakan nama perusahaan asuransi atau dengan mengutip ungkapan tokoh tertentu mengenai asuransi.

Hal-hal ini memiliki fungsinya tersendiri, namun ada baiknya jika para agen dan leader juga mampu memberikan edukasi yang lebih mendalam mengenai kondisi riil perusahaan asuransinya sehingga para nasabah tidak menjadi korban dari AIG atau Jiwasraya berikutnya.

Semoga ke depannya pemahaman mengenai bisnis asuransi, baik di kalangan agen maupun nasabah dapat terus berkembang sehingga asuransi dapat mewujudkan potensinya sebagai salah satu penopang perekonomian kontemporer yang tidak hanya kuat dari aspek MLM, melainkan juga dari sisi kemasukakalan secara finansial.

Referensi
insight.kellogg.northwestern.edu
cnnindonesia.com
harianjogja.com
kompas.com
investopedia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun