Mohon tunggu...
Yudha Satya
Yudha Satya Mohon Tunggu... -

In the journey to excellence\r\nwww.twitter.com/satya_yudha

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengurai Macet Jakarta

27 Mei 2011   17:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu headline Detik.com hari ini adalah :

"Truk Kembali Masuk Tol Dalam Kota, Jakarta Kembali Macet"

Membaca berita di atas  saya dapat maklum betapa dongkolnya organda saat ini dijadikan kambing hitam, seakan truk adalah penyumbang terbesar (atau satu-satunya) kemacetan yang terjadi di ibukota ini.

Dalam problem solving methodology, kita mengenal istilah PROBLEM, SYMPTOMS, CAUSE, dan SOLUTION. Problem adalah yang menjadi perhatian kita saat ini, Symptoms (gejala) adalah hasil/konsekuensi dari terjadinya problem, sementara cause adalah penyebab problem, sedangkan Solution adalah tindakan yang diambil untuk menghilangkan cause. Contoh: problem : Flu. Symptoms: pilek, pusing, demam. Cause: virus. Solution: Istirahat. Jadi, Kembali ke laptop, kemacetan itu problem, symptoms, atau cause?

Mari berbicara dengan data dan fakta:

Data 1:

Setiap tahunnya, kendaraan bermotor di Jakarta tumbuh 8,1% sedangkan jalan tumbuh 0,01%. jika di detailkan lagi, kendaraan bermotor bertambah 1,172 buah (186 mobil dan 986 motor) setiap hari di Jakarta. Jika ditarik garis trend ditemukan bahwa jumlah luas kendaraan = dengan luas jalan di tahun 2014.

Data 2:

Penduduk Jakarta di siang hari bertambah setidaknya 5 juta jiwa dibandingkan malam hari. Pertambahan penduduk ini disumbang oleh Tangerang (2 jt), Bekasi (1,4 jt) dan Bogor & Depok (1,6 jt)

Data 3:

Kebutuhan perjalanan dari, ke, dalam Jakarta sebesar 17,2 Juta perjalanan tiap hari

Data 4:

98,5% kendaraan bermotor di Jakarta adalah kendaraan pribadi, sisanya adalah angkutan umum. Kendaraan pribadi melayani 44% perjalanan sedangkan angkutan umum “harus” melayani 55% sisanya.

Data 5:

konsekuensi dari data 4, rata-rata penumpang kendaraan pribadi adalah 1,4 sementara kita bisa lihat bagaimana orang “bertaruh nyawa” berjejalan di TransJakarta, kopaja, dan KRL. Artinya, begitu banyak kursi kosong yang memenuhi jalan ibukota ini.

Dari data di atas saya berpendapat, bahwa kemacetan sendiri bukanlah masalah, namun gejala atau konsekuensi/ hasil yang timbul karena masalah. Yaitu: ketergantungan penduduk Jakarta terhadap kendaraan pribadi.

Jika masalahnya adalah ketergantungan penduduk Jakarta (dan sekitarnya) terhadap kendaraan pribadi, maka: pembatasan truk tanpa rencana dan studi kelayakan yang tepat, menambah dan menumpuk sampai tiga lapis jalan, 3 in 1, pembatasan plat nomor (ganjil-genap), dll adalah solusi yang diambil pemda DKI untuk mengobati SYMPTOMS bukan CAUSE. Solusi itu memindahkan masalah atau bahkan menciptakan masalah baru. Don’t invite the devil! (ojok ngundang setan)

Jika kita sepakat Problemnya adalah ketergantungan, maka untuk mencari cause adalah bertanya “kenapa?” , kenapa sih kita tergantung pada kendaraan pribadi? “value” apa yang tidak kita dapatkan jika tidak menggunakan kendaraan pribadi? Setelah pertanyaan itu terjawab baru kita mencari “how” untuk mencari subtitusi value dari kendaran pribadi. Saya rasa sampai sini kita serahkan kepada ahlinya yang layak dicoblos kumisnya itu J. Secara pribadi saya pernah melihat presentasi beliau, dan memang beliau adalah orang yang “berisi”. Gelar Doktor planologinya itu jelas bukan abal-abal! Hanya butuh skala prioritas dan sedikit keberanian untuk memulainya. Pemerintah punya priviledge yang tidak dipunyai oleh swasta yaitu membuat himbauan peraturan dan memungut pajak.

Biarlah itu jadi PR pemerintah, toh untuk itu mereka kita bayar melalui pajak khan? Saya lebih tertarik pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah di atas?

Sebelumnya mari kita definisikan kata “bekerja”, menurut saya bekerja adalah aktivitas yang kita lakukan untuk mengubah input menjadi output yang diinginkan pelanggan. Output yang sesuai keinginan pelanggan itulah yang disebut kualitas. Jadi yang menentukan kualitas itu lama bekerja atau cara bekerja?

Bergerak belum tentu bekerja begitu juga kegiatan kita menuju tempat untuk bekerja. Jadi pertanyaannya apakah kualitas ditentukan oleh kehadiran kita? Atau di era yang serba canggih ini apakah 100% karyawan harus hadir untuk mendapatkan output yang berkualitas?

Sampai sini saya berpikir bahwa ketergantungan akan kendaraan pribadi itu sendiri masih berupa Symptoms, bukan masalah yang sesungguhnya...

Mari berdiskusi

Yudha Satya

YM/t : @satya_yudha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun