Mohon tunggu...
Satura Ina
Satura Ina Mohon Tunggu... -

Saya senang membaca.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sentilan: “Tanah Surga Katanya”

6 Desember 2012   07:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Iseng, siang hari gak ada kelas. Mau ngoreksi pekerjaan anak-anak males, karena terlalu banyak. "Ini akibat selalu menunda," hati menyindir. Tapi, berhubung hari Sabtu ada acara di sekolah, jadi cari alasan supaya gak dibilang procrastinating. So, kuraihlah film "Tanah Surga Katanya."

Renyuh, hati terenyuh. Sedih, miris, gak kebayang mesti bilang apa. Ada apa dengan negeriku? (Pura-pura gak tau). Film, yang mengisahkan tentang kehidupan di perbatasan Indonesia dan Malaysia, menyentil hati setiap insan Indonesia, wa bil khusus pemerintah kita. Yang jadi pertanyaan, apakah atasan kita nyadar dengan keadaan yang seperti ini? Gak malu disentil, disindir, diledek, dilecehkan, bahkan dihina setiap detik berganti?

Negara yang terlalu luas, membentang dari Sabang sampai Merauke; (Kita pun) dengan bangga selalu mengumandangkan lagu itu sewaktu di SD, tapi sayangnya masyarakat kita gak pernah diberitahu betapa "terasingnya" penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan, pulau terluar, atau apalah istilahnya. Mereka tidak pernah diperhatikan dalam hal apapun sampai akhirnya mereka "melirik" negara lain, sehingga perlahan-lahan hilanglah rasa nasionalisme.

Kalo boleh jujur, tersentil juga sewaktu nonton film itu (Mesikpun belum tuntas nontonya), karena (aku) sendiri merasa negeri ini tak "patut" diperjuangkan. Sering hati berbisik, "Kita pindah yuk ke negara lain?" Di sini hak-hak kita tak diperjuangkan. Anehnya, kita selalu dituntut untuk melakukan semua tanggung jawab yang diberikan dan "dibebankan," padahal pengemban abdi negara sendiri kebanyakan amburadul.

Perlu disebut? Dari mulai bupati yang menceraikan istri lewat sms, jendral kepolisian yang masuk penjara karena kasus simulator SIM, sampai 48 pejabat dewan yang terjerat kasus korupsi. Kacrut, carut marut, rakyat kalang kabut, tak ada yang dipanut. Bila seorang nenek mencuri coklat, pengadilan memenjarakanya, tapi seorang PNS korupsi, hukumanya hanya 5 tahun dan setelah itu menjabat posisi yang semula.

Balik lagi ke “Tanah Surga Katanya.” Jadi, perlukah kita berjuang untuk negeri ini? Membangun negeri bukan untuk pemerintah, tapi demi tangan-tangan yang membutuhkan uluran kita. Padahal, setiap detik waktu, kabanyakan anggota dewan hanya memikirkan kepentingan dirinya atau partainya. Etiskah bila kita pindah ke negara lain dan “membangunya” meskipun di sana bukan tempat lahir kita?

Negeri ini bakal maju kalau pemerintahnya mau sadar diri; mereka itu sebenarnya cuma pelayan dan pengabdi masyarakat. Tidak lebih! Kapankah negeri ini menjadi tanah yang benar-benar surga? Bukan “katanya” lho.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun