Milikku Hanya Ketakutan, Tidak Ada Yang Lain
Dewan
Aku tak sedang ingin berpikir berat. Aku tak sedang iseng. Aku sedang menulis sesuatu yang tak biasanya. Dengan segala keringanan yang juga tak biasanya. Kurasa, buah mangga tak harus ditunggu sampai matang di pohon agar bisa dijual di pajak Mahkamah, pajak Halat, pajak Sukaramai, pajak Sambu, pajak Brastagi, pajak Kaban Jahe atau di tempat lainnya. Petiklah secukupnya dan biarkan matang di ruang sidang perdebatan. Gambaran dasarnya adalah akar pohon sudah menghisap sari bumi untuk merimbunkan daunnya dan mengokohkan batang tubuhnya karena itu ia menghadiahkan buah yang terbaik untuk dunia. Kapan lagi?
Buah mangga adalah kalimat yang akan matang dengan caranya sendiri. J.D, dengan rambut putihnya bisa saja mengasah pisaunya untuk merajang kalimat mulai dari kata, suku kata atau mungkin hurufnya dan menunjukkan kepada siuapapun yang membaca bahwa tulisan ini tidak ada maknanya sama sekali, mungkin juga pisaunya yang akan menjadi tumpul dan rumus rajangannya mesti direvisi.
Tetapi seorang bijak berkata : "kalau bukan karena keputusanNya untuk menghukum para pendosa, niscaya neraka akan dijadikan sejuk dan damai". Lalu, Para Pembunuh berkhotbah : "tidak ada sedikitpun hukum layak dibebankan atas manusia kecuali ia berasal dari manusia juga".
Aku bertanya sekaligus mencemooh kepada Para Pembunuh dan pemilik kepala yang berisi pemikiran culas dan yang terpesona oleh bahasanya yang meyakinkan, bak daun selada di hidangan main course. Tahukah dedaunan di pohon tembesi yang mengering tentang pertanyaanku? Inilah : "bagaimana bisa mereka membunuh -bahkan seekor nyamuk yang tak bisa terbang lagi karena terlalu banyak menghisap darah- sedangkan dengan sendirinya mereka sudah terbunuh oleh 'kerja kerasnya' dalam berpikir?"
Lelucon peradaban telah lahir. Aku tak terpancing untuk tertawa meskipun selain yang sependapat denganku tertawa terbahak-bahak sambil mencabuti bulu hidungnya. Aku tak terpengaruh ataupun tersinggung karenanya. Biasa saja. Masih terasa rata dan datar saja semuanya.
Seperti yang sudah kukatakan di awal tadi, aku tak sedang ingin berpikir berat. Biarkan untuk sejenak melayang dengan segala keringanan yang tak pernah terasa sebelumnya. Aku ingin bebas dan merdeka dari ketergantungan informasi yang sudah direkayasa. Dan yang sedikit tempatnya di dalam hati dan akal yang belum tercemar oleh polusi budaya.
Tidak percaya? Tanyakan kepada fenomena sosial yang terbentuk dengan massal (bukan dengan sendirinya). Mereka tidak akan menjawab seperti yang Anda inginkan. Kenapa? Karena belum apa-apa Anda sudah menolaknya ataupun meragukan asumsi serampangan ini.
Langkahku terseok-seok meniti formulasi 'menjadi manusia' dan sang Revolusioner malah tersenyum tanpa bermaksud buruk. Matanya tajam menggugah. Kemampuanku hanya melolong : "akulah cacing yang kelabakan terbakar di bawah sinar matahari". Tak kupahami ketika sesedunya membuatku merinding "Aku hanyalah debu di kuku kaki kudanya...". Kulemparkan tali agar tersangkut oleh cahaya yang mengangkat kalimat itu ke atas dan aku bisa bergelantungan bersamanya. Menaik dari bumi menembus langit.
Jika dia adalah debu, lantas apalah diriku? Tak ada kepercayaan diri untuk menanyakannya. Tentunya diri ini sesuatu yang jauh lebih kecil dari debu dan tentunya hina. Bukan sesuatu yang indah tentang diri ini. Mungkin yang lebih tepat adalah "Adakah diri ini?". Pasti dan pasti tidak dengan hanya 'berpikir' untuk merasa ada. Dengan ketakutan dan gemetar kusimpulkan : "Aku bahkan bukanlah bayangan bagi bayang-bayang".