Beberapa dari kita mungkin sudah menonton film ‘A Beautiful Mind’ yaitu kisah nyata tentang John Nash, seorang ahli matematika dari Amerika Serikat yang menderita skizofrenia. Dikisahkan dalam film tersebut, dengan pengobatan teratur dan dukungan keluarga/orang-orang terdekat dia bisa mencapai fungsi kehidupan yang baik bahkan memperoleh Nobel bidang ekonomi tahun 1994. Hal ini mungkin berkebalikan dengan pemikiran banyak orang bahwa penderita skizofrenia tidak bisa mencapai taraf kehidupan yang optimal atau bahkan bisa berprestasi.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering menemui ‘orang dengan skizofrenia’ (ODS) yang dalam bahasa awam disebut sebagai ‘tidak waras’, ‘hilang ingatan’ atau sebutan lebih kasar seperti ‘orang gila’ atau ‘sinting’. Data kunjungan kasus baru skizofrenia ke poliklinik psikiatri RSUD Pambalah Batung Amuntai periode Juli 2013 - Juni 2014 adalah 81 kasus dari total 221 kasus baru (36,6%).
Sekilas tentang skizofrenia
Gangguan skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa kronis dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk membedakan sesuatu itu nyata atau tidak; bersifat kambuhan; dan menyebabkan penurunan fungsi hidup sehari-hari yang semakin lama semakin berat terutama bila tidak mendapatkan penanganan segera dan memadai. Gejala - gejala skizofrenia meliputi gangguan pikiran, gangguan persepsi (halusinasi), gangguan emosi, gangguan penampilan dan perilaku, gangguan motivasi, berkurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan menyelesaikan masalah.Pada akhirnya kondisi ini sering menjadi beban bagi penderita maupun keluarga atau lingkungan. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka diperlukan kewaspadaan karena sama seperti penyakit lainnya, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan penanganan penyakit.
Berikut ini beberapa hal yang perlu menjadi perhatian sebagai deteksi dini gangguan skizofrenia, yaitu: gangguan tidur, senyum-senyum atau bicara sendiri, gerakan-gerakan aneh, bicara melantur, mudah marah tanpa alasan yang jelas, ekspresi datar, penarikan diri, kecurigaan atau ketakutan berlebihan/tidak sesuai kenyataan, pemikiran aneh (misalnya orang lain berusaha menyedot isi pikirannya); perawatan diri berkurang; perubahan nafsu makan (biasanya tidak mau makan). Bila terjadi hal-hal tersebut maka segeralah periksakan ke dokter, psikiater atau fasilitas kesehatan terdekat.
Skizofrenia dapat diobati, namun masih banyak ODS yang tidak mendapat pengobatan memadai. Juga masih banyak ODS datang ke pelayanan kesehatan dalam jangka waktu lama setelah gejala-gejala skizofrenia muncul. Biasanya datang ketika ODS mengamuk atau bertindak agresif. Kondisi ini bisa disebabkan pemahaman yang kurang atau salah tentang skizofrenia, terkait budaya maupun latar belakang pendidikan. Hal lain yang menjadi kendala adalah stigma atau malu memiliki keluarga menderita skizofrenia sehingga lebih memilih untuk membiarkan ODS di rumah, bahkan tidak sedikit yang dipasung.
Saat ini pengobatan skizofrenia meliputi psikofarmaka (obat-obatan) dan yang tidak kalah penting juga tata laksana non psikofarmaka (konseling, terapi lingkungan, terapi keluarga, serta rehabilitasi sosial). Isu efek samping obat-obat skizofrenia serta potensi ketergantungan, kerusakan ginjal atau organ lain menjadi hal yang sering ditakutkan pasien maupun keluarga dan ini berpotensi menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan.
Obat-obat skizofrenia sekarang sudah bervariasi dan sudah semakin baik dengan efek samping yang semakin minimal. Pilihan obat dan dosis juga disesuaikan dengan kondisi pasien dan sangat dimungkinkan pada akhirnya dilakukan penurunan dosis sampai batas minimal yang paling efektif. Dalam perjalanannya juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berkala sesuai kebutuhan dan kondisi pasien. Hal lain adalah dalam era BPJS, obat-obat yang disediakan juga semakin lengkap untuk mengakomodir kebutuhan pasien.
Berdasarkan pengalaman dengan pengobatan dan berbagai tindakan, tidak sedikit ODS mencapai perbaikan gejala (remisi) bahkan pemulihan (recovery); dimana ODS bisa kembali kepada fungsi seperti sebelum sakit dulu. Kondisi ini tentu tidak gampang, perlu perjuangan dan disiplin meminum obat sesuai aturan serta dukungan lingkungan terutama keluarga sebagai lini pertama. Beberapa ODS yang datang ke poliklinik psikiatri RSUD Pambalah Batung juga mencapai fungsi hidup yang optimal, mampu bekerja seperti orang kebanyakan, dan bersosialisasi dengan baik.
Living with Schizophrenia
Tanggal 10 Oktober setiap tahun diperingati sebagai World Mental Health Day (Hari Kesehatan Jiwa Sedunia); dan tema tahun ini adalah ‘Living with Schizophrenia’ atau hidup bersama (orang dengan) skizofrenia. Tema ini diambil sebagai bentuk kepedulian terhadap ODS; membuka mata dan telinga untuk mereka yang hidup dengan skizofrenia.
Peran keluarga, teman, tenaga kesehatan, ulama, pemerintah/pengambil keputusan, dan seluruh anggota masyarakat adalah meningkatkan kepedulian dan perhatian terhadap ODS, mulai dari deteksi dini skizofrenia sampai kepada pengobatan.
Living with Schizophrenia berarti bagaimana masyarakat bisa hidup dengan para ODS demikian sebaliknya. Hal yang paling sering dihadapi ODS dan keluarganya adalah stigma (cap buruk) yang berdampak buruk terhadap ODS sehingga lingkungan/masyarakat berperan penting dalam menciptakan suasana kondusif untuk para ODS dalam mencapai taraf kehidupan yang optimal.
Negara/pemerintah, khususnya pemerintahan yang baru juga bertanggung jawab memberi perlindungan terhadap ODS sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 3. Hal ini juga yang diatur dalam UU Kesehatan Jiwa yang baru disahkan beberapa waktu lalu dimana peran serta keluarga, masyarakat termasuk juga dalam hal ini pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan Kepmenkes RI No. 220/Menkes/SK/III/2002 tentang Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) sehingga sebaiknya dilakukan revitalisasi TPKJM sampai ke tingkat desa. Contoh kemandirian masyarakat ditunjukkan oleh Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) di Jakarta yang diprakarsai oleh Bagus Utomo, seorang keluarga ODS. Pergerakan dimulai dari dunia maya yang pada akhirnya berkontribusi di dunia nyata. Komunitas ini sudah berdiri Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Malang dan di beberapa kota di Indonesia. Keluarga, ODS dan para relawan termasuk petugas kesehatan bergabung di dalamnya sebagai pihak yang peduli terhadap ODS dan aktif mengakomodir kebutuhan para ODS dan keluarga termasuk mengembangkan keahlian yang dimiliki ODS untuk meningkatkan kemandirian, kualitas hidup, dan harga diri serta perlahan-lahan menghapus stigma diri maupun lingkungan.
Bila peran serta masyarakat semakin baik maka diharapkan kesadaran dan kepedulian tentang skizofrenia di masyarakat juga semakin baik. Indikatornya adalah temuan kasus gangguan jiwa khususnya skizofrenia semakin tinggi karena deteksi dini berjalan dengan baik. Semakin dini ditemukan maka diharapkan penanganan lebih dini sehingga perbaikan gejala semakin optimal dan kualitas hidup mereka semakin baik. Itu adalah tanggung jawab kita bersama saat hidup bersama dengan orang dengan skizofrenia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H