Syariah kini sudah menjadi komoditi di Indonesia. Tak terkecuali di bidang ekonomi. Menjamurnya perbankan syariah merupakan salah satu indikasi dari hal tersebut. Keluarnya Pakto 88 menandai berdirinya perbankan syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat pada tahun 1992. Hal yang menyebabkan tumbuh pesatnya Perbankan Syariah di Indonesia antara lain adalah perannya sebagai jembatan ekonomi. Salah satu karakteristik dari Perbankan Syariah yang menegaskan eksistensinya sampai saat ini adalah Sistem Bagi Hasil yang ditetapkan oleh Perbankan Syariah.
Kontrak profit-loss sharing adalah sebuah perjanjian kontrak diantara dua belah pihak dimana masing-masing pihak mengumpulkan sumber daya (keuangan), menginvestasikannya dalam beberapa proyek dan kemudian saling berbagi keuntungan dan kerugian. Meskipun profit-sharing dan pinjaman berbunga kelihatannya serupa, namun perbedaannya jelas. Dalam profit-loss sharing, hasilnya tidak dijamin, sedangkan dalam pinjaman berbunga yang diterapkan oleh perbankan konvensional, pinjaman tersebut tidak tergantung pada hasil yang untung atau rugi dan biasanya terjamin sehingga si debitur harus mengembalikan modal yang dipinjam ditambah jumlah bunga yang pasti tanpa mempedulikan bagaimana hasil dari penggunaan modal pinjaman tersebut. Dengan demikian, kerugian finansial sebagian langsung jatuh pada pihak peminjam.
Pada dasarnya kontrak bagi hasil memberikan keleluasan bagi mudharib (pengelola, pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Dalam kondisi ideal dimana masing-masing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best solution). Namun tentu tidak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna. Ketidaksempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sebagai contoh, shahibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudharib (debitor). Namun karena sedikitnya informasi yang berkaitan dengan tingkat pengembalian (expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal kemungkinan sangat berpotensi akan mengalami kerugian.
Ada kalanya dalam pembiayaan investasi di perbankan syariah, kontrak bagi hasil (profit-loss sharing) ini seringkali gagal diterapkan karena adanya beberapa masalah potensial yang dihadapi. Hal tersebut dilatar belakangi oleh lima alasan.
Pertama, kontrak profit loss sharing dikaitkan dengan agency problems. Dimana hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan yang muncul diantara pihak-pihak yang terlibat. Ada kecenderungan, seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan usaha tetapi mempunyai insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan pembiayaan pribadi dari manajer. Argumen ini didasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses produksi. Jika hal ini terjadi maka kaum kapitalis cenderung ragu-ragu untuk berinvestasi berdasarkan basis profit-loss sharing. Disamping itu, potensi ketidaksempurnaan informasi dalam kontrak juga menjadi penyebab agency problems dalam kegagalan adopsi profit-loss sharing. Pihak bank sebagai mudharib seringkali tidak dapat memonitor dengan baik kinerja pengusaha sebagai penyedia dana. Dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang memicu konsep penerapan profit-loss sharing menjadi lebih berisiko tinggi.
Kedua, kontrak profit loss sharing membutuhkan jaminan (kolateral) agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikitnya jaminan hak properti pada kontrak profit loss sharing dapat menyebabkan kegagalan penerapan karena tidak adanya aturan yang melandasi. Padahal menurut teori perbankan Islam, dana yang diinvestasikan berdasarkan sistem profit-loss sharing harus diberikan tanpa adanya kolateral atau jaminan apapun. Tidak adanya syarat kolateral kemungkinan besar akan menarik bagi pengusaha sebagai penyedia dana, yang kekayaannya terbatas. Perjanjian dalam kontrak profit-loss sharing terutama akan mendorong para pengusaha baru yang tidak memilki asset apapun selain usaha (tenaga) dan keahlian mereka. Dengan kondisi yang seperti ini maka kemungkinan penerapan profit-loss sharing cenderung menimbulkan kerugian di salah satu pihak.
Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dalam pembiayaan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan pada konsep mudharabah dan musyarakah yang dianut oleh bank. Akan tetapi, seringkali pelaksanaan manajemen asset dari mudharabah dan musyarakah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga risiko yang dihadapi justru tinggi. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada asset riil. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Di Indonesia, pengelolaan asset pada perbankan syariah masih cenderung terpusat pada sertifikat wadiah Bank Indonesia.
Keempat, batasan peran investor sebagai penyedia dana dan dikotomi struktur keuangan dalam manajemen kontrak profit loss sharing menimbulkan tidak adanya partisipasi. Pihak-pihak yang terkait tersebut tidak berbagi kontrak dalam partisipasi pengambilan keputusan. Di satu sisi, terlihat hanya pihak manajemen yang mengelola dan sedangkan investor hanya menikmati hasilnya.
Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas). Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang disalurkan melalui sertifikat wadiah Bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika pembiayaan tersebut berjangka pendek.
Melihat kelima alasan diatas, pada dasarnya permasalahan tersebut jika dilihat secara seksama lebih dipengaruhi oleh satu hal yakni tidak sempurnanya akses informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak dalam profit-loss sharing karena perbedaan kepentingan. Dimana ketidaksempurnaan informasi ini menimbulkan dua masalah yang paling menonjol dalam penerapan kontrak profit-loss sharing yakni kesulitan dalammenilai tingkat kegiatan usaha debitor(unobservable effort) dan terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat produktifitas usaha (hidden productivity).
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan dalam kegagalan adopsi profit loss sharing diatas ada baiknya jika pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak melakukan upaya-upaya antara lain :
1.Perhatikan investasi dana oleh bank yang melibatkan utamanya perjanjian model mudharabah dalam kontrak profit-loss sharing. Hal ini sangat penting mengingat 100% modal berasal dari shahibul maal, sehingga sikap kehati-hatian sangat diutamakan.
2.Dalam menentukan jenis kontrak yang akan dipilih, sekurang-kurangnya ada dua persyaratan yang harus dipenuhi sekaligus, baru kontrak boleh dijalankan. Syarat pertama, tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus. Yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak diperbolehkan melanggar pedoman syariah.
3.Konsep syariah mengajarkan umat muslim untuk menyangga usaha secara bersama, baik dalam membagi keuntungan maupun menanggung kerugian. Anjuran itu berkenaan dengan transparansi dalam membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan amanah (lower preference for opportuniy cost). Bila ketiga anjuran tersebut dipenuhi, maka transaksi kontrak profit loss sharing bisa mencapai apa yang disebut dengan kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution).
4.Dalam hal hasil akhir yang berkenaan dengan tingkat penghasilan yang diharapkan (expected return), kualitas transaksi profit-loss sharing sangat tergantung pada sedikitnya tiga faktor utama yang perlu dicermati antara lain:
a.Perhatian terhadap akses informasi (transparansi). Dengan kepemilikan informasi yang cukup, dipastikan akan mengurangi kondisi moral hazard. Dengan demikian, para pelaku transaksi dalam kontrak bisa saling mengukur bagaimana ekspektasi usahanya apakah akan mendatangkan hasil optimal atau sebaliknya.
b.Preferensi dari pelaku transaksi. Nilai transaksi yang dilakukan secara amanah dan terbuka akan secara efektif menurunkan moral hazard. Beberapa transaksi bagi hasil yang memberikan insentif bonus bila transaksi mencapai tingkat prestasi tertentu, diharapkan dapat meningkatkan kualitas transaksi.
c.Standar akuntansi yang memadai. Salah satu syarat yang menentukan keberhasilan bagi hasil adalah sistem akuntansi yang sesuai dengan prinsip syariah. Konsep ini harus memberikan panduan tentang penentuan definisi pendapatan dan biaya. Juga, tentang tingkat risiko dari transaksi.
Dengan demikian, melalui berbagai alternatif solusi diatas diharapkan pada akhirnya nanti transaksi pembiayaan kontrak profit loss sharing bisa mencapai apa yang disebut dengan kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution). Tentunya, dengan tetap mendasarkan pada prinsip syariah sehingga pihak-pihak yang mengadakan kontrak bisa memperoleh pendapatan secara optimal tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H