Mohon tunggu...
Satriyo Wahyu Utomo
Satriyo Wahyu Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Egalite

Each works as its abilities, each takes as its needs | Instagram : @satriyowu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toleransi dan Perang Asimetris

17 November 2022   03:26 Diperbarui: 17 November 2022   03:39 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang tradisional meliputi perang fisik, perang yang terlihat, perang yang tak kasatmata menggunakan senjata tajam atau api. Perang dunia pertama 1914-1918 atau perang dunia kedua 1939-1945 adalah preseden perang tradisional. Kawan dan lawan pada perang tradisional, karena sifatnya tal kasatmata dan menggunakan senjata fisik, maka identifikasi kawan-lawan mudah, serta kemungkinan sasaran dan tersasar juga mudah. Sebagai misal, agresi militer Belanda, Portugis, dan Jepang terhadap penduduk pribumi dan perlawanan gerilya Jendral Soedirman kepada pasukan Belanda, identifikasi kawan-lawan hanyalah sebatas ciri-ciri fisik dan atribut yang dipakai kedua belah pihak. Jadi, dalam perang tradisional identifikasi dan sasarannya memiliki tingkat kemudahan yang relatif sama. 

Lain halnya dengan perang non-tradisional atau perang asimetris. Karakternya 180 derajat berbeda: non-fisik, tak-terlihat, kasatmata, tidak menggunakan senjata secara langsung. Indonesia saat ini sedang mengalami ancaman perang asimetris, atau bahkan sudah sedang dalam ancaman perang asimetris. Kasusnya yang paling umum adalah menyasar tentang human security, identitas pribadi, privasi dan lain-lain. Bentuk ancaman ini bermacam-macam, misalnya senjata pemusnah massal yang tidak lazim dan asing kita temui dalam keseharian kita yaitu senjata kimia, racun, peredaran senjata yang tidak terkontrol, space war, peredaran narkoba, pembajakan, infiltrasi, peretasan, keberadaan jaringan mafia transnasional, terorisme, cyber war, pemberontakan domestik, separatisme, perebutan sumber daya energi dan bahan baku industri, 

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling memungkinakan menjadi target sasaran perang asimetris yang berwujud dalam berbagai bentuk yang disebutkan di atas. Tentu hal ini disebabkan motif ekonomik dan geografik; cadangan sumber daya Indonesia yang melimpah dan subur dan posisi strategis Indonesia yang termasuk cross road (semenanjung malaka di barat laut dan australia di tenggara menyilang dengan laut pasifik di timur laut dan samudra hindia di barat daya) serta memiliki pintu masuk yang banyak akibat bentuk kepulaunnya, ditambah lagi keragaman identitas suku dan budaya yang menambah kerentanan Indonesia menjadi sasaran. 

Secara teknis, Indonesia bisa saja untuk membangun peralatan militer difensif di banyak pintu dan tidak memungkiri juga peralatan militer Indonesia berkembang sedemikiran rupa. Namun, benang merah daripada pertahanan Indonesia secara emosional dan intuisif adalah terletak pada toleransi, entah itu dalam definisi empiris-kontemporer maupun secara konseptual-rasional. Toleransi, rasa tenggah rasa, saling menghormati, dan non-chauvinis nasionalisme adalah satu-satunya modal pertahanan basis yang dapat mendukung modal pertahanan teknis.

Tahapan yang digunakan para aktor perang asimetris dibagi dalam beberapa tahap: 1)infiltrasi, melalui jalur intelijen dalam bidang militer, ekonomi (biasanya berbentuk bantuan asing), sosbud, dan politik (menggali informasi celah kelemahan untuk dipecah) atau bahkan buzzer yang bersemayam di sosial media dengan melancarkan spam informasi palsu dengan sangat gencar hingga sulit dibendung; 2)eksploitasi atau ekstraksi, melancarkan berbagai macam cara dan modus seperti adu domba, debat opini tiada henti, pemantikan sel-sel perlawanan, pembentukan agen mata-mata karena hendak melancarkan gelar provokasi dengan modal dukungan opini internasional yang sudah dimanipulasi sedemikian rupa bahkan hanya sependek kegiatan diplomatis pun dapat menjadi pintu masuk perang asimetris karena upaya untuk menimbulkan konflik horizontal (konflik sara, konflik saudara) merupakan upaya yang paling memungkinkan dilakukan di Indonesia; 3)cuci otak, upaya untuk mengeliminasi pikiran persatuan dan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia dan menanamkan primordialisme kesukuan sehingga probabilitas perpecahan dan perang saudara bisa terjadi; 4)akuisisi sumber daya alias imperialisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun